MAKALAH
PERKEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
MASYARAKAT MADANI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dosen Pengampu : Marsaid, M.Pd.I
Disusun oleh:
Toni Yusuf Permadi (1284961)
Esih Suprihatin (128)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji
syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Masyarakat Madani dalam Perspektif Islam”
dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa penulis sanjungkan kepada
Nabi Besar Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumul
kiamah.
Penulis menyadari didalam pembuatan makalah
ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan
rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak.
Marsaid, M.Pd.I selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan kepada kami
dalam rangka penyelesaian makalah ini.
2. Kepada
orang tua yang memotivasi kami sehingga makalah ini terselesaikan.
3. Kepada
teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kesempurnaan
hanyalah milik Allah SWT, maka penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan
penulisan makalah ini masih banyak kekuarangan dan kesalahan, baik dalam
penulisan maupun penyajian materi. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan guna penyempurnaan dalam
penyusunan dan penulisan tugas kelompok ini dan tugas-tugas selanjutnya.
Metro,
04 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar isi ............................................................................................................ ii
1. Bab I Pendahuluan ................................................................................... 1
a. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
b. Rumusan Masalah .................................................................................. 1
c.
Tujuan .................................................................................................... 2
2. Bab II Pembahasan .................................................................................... 3
a. Islam dan Masyarakat Madani .......... .................................................... 3
b. Konsepsi
Islam dalam Membangun Masyarakat Madani................................ 6
c. Sosio-Historis
Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah ......................... 7
d. Karakteristik Masyarakat Madani .......................................................... 9
3. Bab III Penutup .......................................................................................... 17
a.
Kesimpulan ............................................................................................ 17
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Term Civil Society atau
“Masyarakat Madani”, merupakan wacana dan fokus utama bagi masyarakat dunia
sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini, kebutuhan dan tuntutan atas
kehadiran bangunan masyarakat madani, bersamaan dengan maraknya issu
demokratisasi dan HAM. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh manakah
Islam merespon masyarakat tersebut. Jawabannya adalah bahwa Islam yang ajaran
dasarnya Alquran, adalah shālih li kulli zamān wa makān (ajaran Islam
senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi). Karena demikian halnya, maka
jelas bahwa Alquran memiliki konsep tersendiri tentang masyarakat madani.
Semua orang mendambakan
kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan
masyarakat Indonesia, yaitu adil dan makmur bagi seluruh lapisan masyarakat.
Untuk mencapainya berbagai sistem kenegaraan muncul, seperti demokrasi.
Cita-cita suatu masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas
sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila
semua bidang pembangunan bergerak secara terpadu yang menjadikan manusia
sebagai subjek. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat
menyentuh keberadaan manusia yang berperadaban. Pengembangan
masyarakat merupakan sebuah proses yang dapat
merubah watak, sikap dan prilaku masyarakat ke arah pembangunan yang
dicita-citakan.
Indikator dalam menentukan
kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta
kebutuhan masyarakatnya. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mencuatkan suatu
kemakmuran yang didambakan yaitu terwujudnya masyarakat madani. Munculnya
istilah masyarakat madani pada era reformasi ini, tidak terlepas dari kondisi
politik negara yang berlangsung selama ini. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat
belum merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Pemerintah atau penguasa
belum banyak member kesempatan bagi semua lapisan masyarakat mengembangkan
potensinya secara maksimal. Bangsa Indonesia belum terlambat mewujudkan
masyarakat madani, asalkan semua potensi sumber daya manusia
2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana Pengertian Masyarakat
Madani?
b) Bagaimana Konsepsi Islam dalam
Membangun Masyarakat Madani?
c) Bagaimana Sosio-Historis Masyarakat
Madinah pada Masa Rasulullah?
d) Bagaimana Karakteristik Masyarakat Madani?
3. Tujuan Masalah
a) Untuk Mengetahui Pengertian Masyarakat
Madani
b) Untuk Mengetahui Konsepsi Islam dalam
Membangun Masyarakat Madani
c) Untuk Mengetahui Sosio-Historis
Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah
d) Untuk Mengetahui Karakteristik
Masyarakat Madani
BAB II
PEMBAHASAN
Cita-cita sosial Islam menempati posisi strategis dalam kerangka
ajaran Islam, karena ia merupakan arah dan acuan kehidupan keberislaman.
Gerakan Islam, apapun bentuknya, sepanjang diorientasikan dalam rangka
memperjuangkan cita-cita sosial Islam,
dengan demikian, merupakan faktor instrumental untuk mengantarkan umat kepada
pencapaian (tepatnya penghampiran) cita-cita tersebut.
Dalam perspektif
ini, gerakan Islam, seyogyanya melakukan interpretasi dan aktualisasi cita-cita
sosial Islam dalam konteks seting sosial, budaya, dan dinamika masyarakat yang
dihadapinya. [1]
1.Islam dan Masyarakat Madani
1.
Pengertian
Masyarakat
Pengertian masyarakat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.[2]
Kata masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang
berarti golongan atau kumpulan.[3]
Sedangkan dalam bahasa
Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan dengan society dan atau community.
Dalam hal ini, Abdul Syani menjelaskan bahwa bahwa masyarakat sebagai community
dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, memandang community
sebagai unsur statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan
batas-batas tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan
masyarakat sehingga ia dapat disebut masyarakat setempat.
Kedua, community dipandang sebagai unsur
yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui faktor
psikologis dan hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur
kepentingan, keinginan atau tujuan yang sifatnya fungsional.
Terdapat kata kunci yang bisa menghampiri kita pada konsep
masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua
kata kunci yang memiliki eksistensi kualitatif inilah yang menjadi nilai-nilai
dasar bagi terbentuknya masyarakat madani. Kata “ummah” misalnya, yang biasanya
dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti dalam istilah-istilah
“ummah Islamiyah, ummah Muhammadiyah, khaira ummah dan lain-lain, merupakan
penata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW segera setalah hijrah
di Madinah.[4]
“Ummah” dalam bahasa
arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang
mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti disyaratkan
al-Qur’an, “ummah” menunjukan suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas
tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moralitas.[5]
Dalam perspektif
sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan
untuk membina solidaritas di kalangan para pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan
kaum Ansahar). Khusus bagi kaum muhajirin, konsep “ummah” merupakan sistem
sosial alternatif pengganti sistem sosial tradisional, sistem kekabilahan dan
kesukuan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam. [6]
Hal di atas
menunjukan bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi
politik. Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam
dan memiliki konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah”, dan “hukumah”.
Istilah pertama, “khilafah”, disebutkan sembilan kali dalam al-Qur’an, tapi
kesemuanya bukan dalam konotasi sistem politik, tapi dalam konteks misi
kehadiran manusia di muka bumi. Oleh karena itu, penisbatan konsep “khilafah”
dengan institusi politik tidak mempunyai landasan teologis.
Begitu pula dengan
istilah “dawlah”, yang diartikan negara (nation state) dan dipahami sebagai
masyarakat madaniyang harus di tegakkan, tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Kata “hukumah” yang
diartikan pemerintah juga tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an memang
banyak menyebut bentuk-bentuk dari akar kata “hukumah” yaitu “hukama”, tapi
dalam pengertian dan konteks yang berbeda. Ayat-ayat al-Qur’an yang dipakai
untuk menunjukan adanya pemerintahan Islam, seperti yang terdapat dalam teori
“hakamiyan” (pemerintahan ilahi) adalah dala surah al-Maidah ayat 44, 45, dan
47. Namun, perlu dicatat bahwa pengertian kata-kata “yahkumu” dalam ayat-ayat
tersebut tidak menunjukan konsep pemerintahan.[7]
Kata “ummah” disebut
sebanyak 45 kali dalam al-Qur’am. Baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk
jamak. Penyebutan al-Qur’an dan juga hadis menunjukan masyarakat madani.
Sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditegaskan atas dasar solidaritas
keagamaan dan merupakan manifestasi dari keprihatinan moral terhadap eksistensi
dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada nilai-nilai Islam.
Islam merupakan
agama yang universal (rahmatan lil-alamin), maka nilai-nilai Islam harus
mendatangkan kebaikan bagi alam semesta. Prinsip kerahmatan dan kemestaan ini
menuntut adanya upaya universalisai nilai-nilai Islam untuk menjadi nilai-nilai
nasional ataupun global.[8]
Seperti telah
disebutkan diatas, penyebutan kata “ummah”dalam al-Qur’an dan al-Hadis
dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu. Hal ini menunjukan bahwa
“ummah”, sebagai komunitas sosial kualitatif, mempunyai nilai relatif. Artinya
bahwa perwujudan “ummah” dalam keragaman realitas sosial budaya kaum muslimin
tidak mungkin seragam dan bercorak tunggal. Perwujudan “ummah” akan sangat
tergantung kepada realitas sosial budaya tertentu.
Lebih dari itu,
“ummah islamiyah” yang di bangun Nabi Muhammad di Madinah merupakan model yang
baik (uswatun hasanah) yang mengandung nilai-nilai ideal pada masanya (abad
ke-7). Ia mungkin saja tidak seluruhnya relevan dengan kehidupan masyarakat
pada abad modern dewasa ini (abad 21). Masyarakat Madani sebagai cita-cita
sosial Islam perlu memiliki relevansi dengan kemodernan dan dinamika
kebudayaan.
2.
Pengertian
Madani
Hal inilah yang
tersirat dalam konsep “madinah”, satu kata kunci yang lain yang terjalin erat
dalam pembangunan masyarakat madani. Jika konsep “ummah” merupakan piranti
lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat madani), maka konsep
“madinah” merupakan piranti kerasnya (hardware). “Madinah” yang berarti kota berhubungan dan
mempunyai akar kata yang sama dengan kata ‘tamaddun” yang berarti peradaban.
Perpaduan pengertian ini membawa suatu persepsi ideal bahwa “madinah” adalah
lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah”
juga merupakan kata benda tempat dari kata “din’ (agama). Korelasi demikian
menunjukan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu
masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari
umat Islam.[9]
Dengan berdasar pada pengertian “masyarakat” dan
“madani” yang telah diuraikan maka istilah “masyarakat madinah” dapat diartikan
sebagai kumpulan manusia dalam satu tempat (daerah/wilayah) di mereka hidup
secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan
yang telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat madani tersebut sering
disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’
al-madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat
yang berkeadilan, dan berperadaban”.
Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat
madani tersebut dikonteks-kan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr
yang secara harfiyah diarti-kan negeri yang baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang digunakan
Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal
itu berada dalam ampunan dan keridahan-Nya. “Masyarakat ideal” inilah yang
dimaksud dengan “masyarakat madani”.
2. Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani
Istilah masyarakat madani,
menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib al-Attas, guru
besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.[10] Jika
ditelusuri lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan
merupakan terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar
kemungkinan bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari
karakteristik masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah
di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian.
Istilah tersebut
kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahim—yang saat itu menjabat
sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia—pada Festival Istiqlal September 1995.
Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait
karakteristik masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti
multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk saling menghargai dan memahami.[11] Inilah
yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia untuk
menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat madani. Sebut saja di
antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju Masyarakat
madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya "Memberdayakan
Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000).
Kemudian di dalam ranah
pemikiran Islam belakangan ini, substansi, karakteristik, dan orientasi
masyarakat madani yang sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat dugaan,
hal ini memang sengaja dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi
nilai-nilai Islam yang ideal. Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani
terhadap konsep civil society mengindikasikan kalau diskursus tersebut
mengalami pembiasan esensi dan proses integrasinya pun cenderung kompulsif.
Inilah kemudian yang menjadi alas an utama betapa perlunya menghadirkan kembali
dan menarasikan secara utuh, ide-ide dalam masyarakat madani yang pernah
diaktualkan Rasulullah di Madinah dalam pembahasan ini. Sehingga tidak ada lagi
tumpang-tindih konsepsi yang mengaburkan cara pandang dan pemahaman khalayak
terhadap diskursus ini.
3. Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa
Rasulullah
Dengan kondisi
geografis yang cukup subur, jauh sebelumnya lahir masyarakat madani, Madinah
telah ditempati oleh masyarakat plural yang terdiri dari beragam suku dan
aliran kepercayaan. Daerah tersebut dulunya bernama Yatsrib, yang kemudian
diganti menjadi Madînah al-Rasûl—atau yang lebih popular disebut Madinah
saja—setelah Rasulullah tiba di sana. Setidaknya ada delapan suku yang eksis
ketika Rasulullah tiba di Madinah. Selain itu, pada masing-masing suku
terdapat beragam aliran kepercayaan; seperti penganut agama Islam, penganut
agama Yahudi, dan penganut paganisme. Dengan kondisi yang amat plural, dari
sini akan terlihat jelas bagaimana Rasulullah merancang sebuah konsep yang
sangat ideal dalam rangka membangun masyarakat madani.
Hal yang perlu
diperhatikan dalam hal ini adalah bagaimana Rasulullah—yang baru tiba di
Madinah, berikut sambutan masyarakat Madinah yang begitu antusias dengan
kedatangan Rasul—langsung melakukan konsolidasi dengan penduduk setempat. Dalam
hal ini, Rasulullah sebagai seorang pemimpin, melihat secara jelas tiga
tipologi masyarakat Madinah dalam perspektif keyakinan dan aliran
kepercayaannya.
Pertama, penganut agama Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Merupakan
sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika di Mekah, hak-hak dan kebebasan
kebebasan kaum muslimin dalam beribadah dan berinteraksi sosial dipasung
sedemikian rupa, berikut ketiadaan basis dan kekuatan untuk melakukan
konsolidasi dan proses islamisasi. Maka keadaan di Madinah berbalik 180° dari
keadaan di Mekah, kini mereka memiliki basis dan kekuatan yang mumpuni—di
samping melakukan konsolidasi dan proses islamisasi—untuk menggerakkan dan
mengelola berbagai sektor kehidupan bermasyarakat dan bernegara; seperti sektor
ekonomi, politik, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.
Kedua, penganut agama Yahudi, yang terdiri dari tiga kabilah besar, yaitu Bani
Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzha. Ketiga kabilah inilah yang dulu
menghegemoni konstelasi politik dan perekonomian di Madinah, hal tersebut
disebabkan karena keahlian dan produktivitas mereka dalam bercocok tanam dan
memandai besi. Sementara kabilah-kabilah Arab yang lain masih hidup dalam
keadaan nomadik, atau karena keterbelakangan mereka dalam hal tersebut. Adapun
imbasnya adalah pengaruh mereka yang begitu besar dalam memainkan peranannya
yang cenderung destruktif dan provokatif terhadap kabilah-kabilah selain
mereka. Hal tersebut berlangsung dalam tempo yang sangat lama, hingga akhirnya
Rasulullah tiba di Madinah dan secara perlahan mereduksi pengaruh kaum Yahudi
yang oportunistis tersebut dengan prinsip-prinsip agung Islam yang konstruktif
dan solutif.
Ketiga, penganut paganisme,
dalam hal ini yang dimaksud adalah komunitas masyarakat Madinah yang masih
menyembah berhala seperti halnya penduduk Mekah. Di dalam buku-buku sejarah,
komunitas ini disebut kaum musyrik. Mereka inilah yang masih mendapati keraguan
dalam diri mereka untuk mempercayai dan meyakini kebenaran ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah. Namun pada akhirnya komunitas tersebut masuk Islam secara
berbondong-bondong terutama pascaperang Badar.
Setelah membaca dan
memahami karakter ketiga golongan tersebut, barulah Rasulullah melakukan
konsepsi—yang tidak lain merupakan wahyu—yang dilanjutkan dengan aktualisasi
konkret terhadap konsep tersebut. Jika orientasi dakwah Rasulullah di Mekah
adalah memperkokoh akar keimanan para pengikutnya, maka orientasi Rasulullah di
Madinah adalah membangun tatanan keislaman yang meliputi penyampaian dan
penegakan syariat Tuhan secara utuh, dan tatanan kemasyarakatan yang meliputi
pembangungan masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agung Islam,
berikut nilai dan norma yang ada pada al-Qurʼan dan petunjuk Nabi. Sementara
terkait dengan penganut kepercayaan lain, seperti kaum Yahudi dan kaum
Musyrikin, Nabi membuat sebuah piagam kebersamaan untuk memperkokoh stabilitas
sosial-politik antarwarga Madinah. Piagam inilah yang kemudian disebut sebagai
Piagam Madinah.
4. Karakteristik Masyarakat Madani
Jika dicermati secara
komprehensif, maka di dalam ajaran Islam terdapat karakteristik-karakteristik
universal baik dalam konteks relasi vertikal, maupun relasi horizontal. Dalam
hal ini Yusuf al-Qaradhawi mencatat, ada tujuh karakteristik universal tersebut,
yang kemudian ia jelaskan secara spesifik di dalam bukunya al-Khashâ'ish
al-ʻAmmah li al-Islâm. Ketujuh karakteristik tersebut antara lain;
ketuhanan (al-rabbâniyah), kemanusiaan (al-insâniyyah),
komprehensifitas (al-syumûliyah), kemoderatan (al-wasathiyah),
realitas (al-wâqi`iyah), kejelasan (al-wudhûh), dan kohesi
antara stabilitas dan fleksibelitas (al-jam’ bayna al-tsabât wa al-murûnah).
Ketujuh karakteristik
inilah yang kemudian menjadi paradigma integral setiap Muslim dari masa ke
masa. Dari ketujuh karakteristik tersebut, ada dua karakteristik fundamental
yang menjadi tolak ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-insâniyyah)
dan kemoderatan (al-wasathiyyah). lima karakteristik yang lain—kecuali al-rabbâniyyah—setidaknya
bisa diintegrasikan ke dalam kategori toleran (al-samâhah).
Karena al-rabbâniyah, menurut al-Qaradhawi, merupakan tujuan dan muara
dari masyarakat madani itu sendiri. Pengintegrasian karakteristik-karakteristik
tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menyederhanakan konsep masyarakat
madani yang dibahas dalam makalah ini, sebab Islam sendiri—menurut Umar Abdul
Aziz Quraysy—merupakan agama yang sangat toleran, baik di dalam masalah akidah,
ibadah, muamalah, maupun akhlaknya.
Dengan demikian, bisa
disimpulkan bahwa Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang
menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani, yaitu Islam yang humanis,
Islam yang moderat, dan Islam yang toleran.
a. Islam yang Humanis
Yang dimaksud dengan
Islam yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan
Rasulullah, sepenuhnya kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman Q.S
al-Rum ayat 30,
Artinya:
"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."
Karena itu, dalam
aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah dengan
mudah diterima oleh nurani dan nalar manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam
sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
Muhammad
Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa manusia—berdasarkan fitrahnya—memiliki
tendensi untuk melakukan hal-hal yang bersifat konstruktif dan destruktif
sekaligus. Dalam hal ini, lingkungan memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam
membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Islam, sebagai agama paripurna,
diturunkan tiada lain untuk mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat
konstruktif dan mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam
permasalahan ini, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri
tatkala telah dijelaskan, mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang terpuji
dan mana yang tercela.
Jika
kaum kapitalis lebih menjadikan manusia sebagai sosok egois dan pragmatis,
sehingga cenderung mendiskreditkan aspek-aspek sosial dengan mengatasnamakan
kebebasan personal; kaum sosialis melakukan sebaliknya, yaitu cenderung
mengebiri hak-hak personal dengan mengatasnamakan kepentingan sosial. Di
sinilah Islam dengan karateristiknya yang spesial, memiliki cara tersendiri
dalam upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia. Islam berhasil mengatur
hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang, sehingga melahirkan
nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan universal.
Hal
lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah bagaimana Islam menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri dan tabiat manusia itu
sendiri. Secara naluriah, setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup aman,
damai, dan sejahtera dalam konteks personal maupun komunal. Manusia juga telah
diberikan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk Allah
lainnya. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, manusia dianggap sebagai
makhluk yang paling sempurna. Kesepurnaan itu akan berimplikasi pada
kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti
instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-Isrâ’ ayat
23-34.
b. Islam yang Moderat
Yang
dimaksud dengan Islam yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam dalam
berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada dimensi vertikal (al-wasathiyah
al-dîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun al-ijtimâʻiy). Kemoderatan
inilah yang membedakan substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah
dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah diutus maupun
sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan dari al-wasathiyah
yang memiliki sinonim al-tawâzun (keseimbangan) dan al-iʻtidal
(proporsional). Dalam hal ini Allah menjelaskan karakteristik umat
Rasulullah sebagai umat yang moderat.
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini
teraplikasikan secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai Hadis yang
diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan dalam penggalan doanya,
"Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku.
Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula
akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."
Jadi, kemoderatan merupakan salah satu karakteristik
fundamental Islam sebagai agama paripurna. Kemoderatan inilah yang sesungguhnya
sangat kompatibel dengan naluri dan fitrah kemanusiaan. Kemoderatan ini juga
yang membuat Islam dengan mudah diterima akal sehat dan nalar manusia. Diakui
atau tidak, nilai-nilai kemoderatan inilah yang menjadi lambang supremasi
universalitas ajaran Islam sebagai agama penutup, yang mengabolisikan ajaran
Yahudi yang memiliki tendensi ekstremis dengan membunuh para Nabi dan Rasul
yang Allah utus kepada mereka, sedangkan ajaran Nasrani memiliki tendensi
eksesif dengan menuhankan Nabi Isa al-Masih dan lain-lain.
Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi
kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun
masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma
keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan,
konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan. Konsep integral inilah
yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat madinah yang
diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi, sehingga
lambat laun konsep tersebut menjadi identitas eternal keislaman yang diajarkan
Rasulullah di Madinah dan menjadi masyarakat percontohan bagi siapa saja yang
datang setelahnya.
Dalam hal ini Sayyid Quthb dalam bukunya al-Salâm
al-ʻÂlamy wa al-Islâmy mengamini bahwa keseimbangan sosial
(al-tawâzun al-ijtimâʻiy) merupakan fondasi utama guna mewujudkan keadilan
sosial (al-ʻadâlah al-ijtimâʻiyah) di tengah-tengah masyarakat. Nilai
keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur untuk mewujudkan
ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks
pembangunan masyarakat madani.
c. Islam yang Toleran
Kata
toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah atau al-tasâmuh
yang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul atau al-luyûnah yang
berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri. Kata
'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan
dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut
agama lain (Nonmuslim).
Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang
dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan
mudah dan fleksibel untuk dipahami maupun diaktualkan. Sehingga Islam sebagai
rahmatan li al-ʻâlamîn benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks
masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.
Untuk itu, sebagai konsekuensi logis dari Islam
sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn yang shâlih li kulli
zamân wa makân, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah
dipahami dan fleksibel untuk diaplikasikan. Sehingga di dalam perjalanannya,
banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah
tersebut. Allah berfirman, Q.S al-Baqarah : 286
Artinya:
"Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir".
Demikian juga teks
al-Qur'an yang mengatakan, Q.S al-Baqarah 185
Artinya :
Maka tatkala ajaran
Islam memiliki konsekuensi untuk kompatibel dengan fitrah dan kondisi manusia,
Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia mengatakan, Q.S al-Nisa:28
Artinya :
"Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian,
dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah."
Adapun teks-teks dari Hadis mengenai keringanan dan
kemudahan tersebut dapat dilihat tatkala Nabi hendak mengutus Muʻadz dan Abu
Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini Nabi berpesan, "Permudahlah, jangan
mempersulit." Masih dalam konteks yang sama, Nabi bahkan mengafirmasi
bahwa ajaran agama Islam memang penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas. Di
samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang tabiat sang Nabi yang senang
dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia mengatakan, "Tidak pernah Nabi
diberi pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah di antaranya, asalkan tidak
ada larangan untuk hal tersebut."
Inilah bentuk kemudahan dan fleksibelitas ajaran
Islam, dan tentu masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi bukti
eternal betapa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan
kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama,
sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh
nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarahkan kepada
kekerasan dan sikap kompulsif tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua
hal; pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan
Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur. Hal
tersebut diperintahkan sebagai bentuk konsekuensi dari keadaan yang tidak
memungkinkan untuk bersikap lunak dan lemah lembut, agar totalitas berperang
benar-benar tejaga, untuk meraup kemenangan yang gemilang. Kedua, sikap
kompulsif dalam menegakkan dan mengaktualkan hukuman syariat tatkala dilanggar.
Dalam hal ini Allah tidak menghendaki adanya rasa iba hati dan belas kasih,
sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan. Sikap kompulsif ini tiada lain
merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya konstelasi kehidupan
bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma
kemanusiaan.
Pada tataran aplikasi realnya, jika kita cermati
hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan
mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana. Kita juga akan mendapati
berbagai indikasi augmentatif yang—secara tidak langsung—mengukuhkan eksistensi
setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek personal
maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang
berbentuk konkret maupun abstrak; atau perintah untuk membangkitkan kepekaan
sosial yang dibangun atas dasar persaudaraan, egalitarianisme, dan solidaritas.
Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat
laju peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk melakukan
inovasi demi kemaslahatan manusia banyak. Islamlah yang senantiasa menyeru umat
manusia untuk tekun menuntut ilmu dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna
menunjang eksistensi mereka di dunia ini.
Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan
Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh
khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan
keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban
yang sama sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin
keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka haram
ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah berfirman, Q.S
al-An’am ayat 151
Artinya:
" Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami
(nya).”
Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang
membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan
ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah
mengharamkan baginya masuk surga."
Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran
Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar: pertama,
dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam
agama, etnis, dan kebudayaan; kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan
agama merupakan kehendak Allah semata; ketiga, dasar pemikiran bahwa
kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan mereka
yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak
prerogatif Allah di akhirat kelak; sedangkan keempat adalah pemikiran
bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia,
meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasar pada permasalahan
yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-uraian yang telah
dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa Masyarakat madani secara
umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana mereka
hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan
kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering
disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau yang pengertiannya
selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan
berperadaban”. Dalam istilah Alquran , kehidupan masyarakat madani tersebut
dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.
Untuk mewujudkan masyarakat madani
dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus
supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga
harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat
sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan
berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi
yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan
kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya
kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan
bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta
ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada
zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada
potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang
ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat
madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam
membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu pula
sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam membangun
agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita
berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui latihan-latihan
spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir (Surabaya:Pustaka
Progessif, 1984) hlm. 82.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa
Indonesia
Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat
Madani, (Jurnal Komunitas,
vol. 4, no. 1, Juni 2008), hal. 10
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat
Madani, Jakarta: Logos,2002, hlm.
93.
[1] Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam
Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002, hlm. 93.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ,
Kamus Besar Bahasa Indonesia
[3] Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir
(Surabaya:Pustaka Progessif, 1984) hlm. 82.
[4] Ibid., hlm. 95.
[5] Ibid.,
[6] Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam
Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002, hlm. 95.
[7] Ibid., hlm. 96.
[8] Ibid., 97.
[9] Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam
Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002, hlm. 98.
[10] Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat
Madani, (Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hal. 10
[11] Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat
Madani, (Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hlm. 12
izin untuk share ke blog saya artileny bagus. cek ajah di http://infoberbagiartikel.blogspot.co.id/
BalasHapusizin save yahh
BalasHapusIntinya mana ya? Kebanyakan materi
BalasHapusçekmeköy arçelik klima servisi
BalasHapusataşehir arçelik klima servisi
maltepe samsung klima servisi
kadıköy samsung klima servisi
maltepe mitsubishi klima servisi
kadıköy mitsubishi klima servisi
çekmeköy bosch klima servisi
ataşehir bosch klima servisi
tuzla alarko carrier klima servisi