Sabtu, 23 November 2013

MAKALAH FIQH 1 SYIRKAH, MUDHARABAH ATAU QIRADH, MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH


MAKALAH
FIQH 1
SYIRKAH, MUDHARABAH ATAU QIRADH, MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

Dosen Pengampu: Muhammad Ali, M.Pd.I








Kelompok Sembilan (9)

Disusun Oleh :
Nanda Ariezky (1284011)
Toni Yusuf Permadi (1284961)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2013
KATA PENGANTAR
       Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Syirkah, Mudharabah Atau Qiradh, Musaqah, Muzara’ah Dan Mukhabarah dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumul kiamah.
     Penulis menyadari didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Bapak. Muhammad Ali, M.Pd.I selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan kepada kami dalam rangka penyelesaian makalah ini.
2.      Kepada orang tua yang memotivasi kami sehingga makalah ini terselesaikan.
3.      Kepada teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, maka penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih banyak kekuarangan dan kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyajian materi. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan guna penyempurnaan dalam penyusunan dan penulisan tugas kelompok ini dan tugas-tugas selanjutnya.

                                                                             Metro, 07 Oktober 2013

                                                                                         Penulis





BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
            Masyarakat sejak dahulu tidak terlepas dari proses jual-beli dan kerjasama dalam bidang perekonomian. Dalam ilmu fiqh terdapat macam-macam kerjasama dalam perekonomian yang memang penting untuk di pelajari untuk kemaslahatan masyarakat atau umat. Dan apabila akan ada beberapa orang yang akan berserikat dalam kerjasama ini, maka tergantung ingin bekerjasama dengan cara yang diinginkan dan sesuai dengan kemampuan individu masing-masing dan ketentuan-ketentuannya.

            Terdapat beberapa bentuk kerjasama dalam pandangan Islam, yaitu kerjasama yang pertama yaitu syirkah, yang kedua yaitu mudharabah atau qiradh, yang ketiga yaitu musaqah, yang keempat yaitu muzara’ah dan mukhabarah.

            Untuk mengetahui kejelasan dari bentuk-bentuk atau macam-macam kerjasama diatas maka diperlukan kajian yang seksama. Untuk itu, kami dari kelompok sembilan ingin memaparkan beberapa penjelasan dari ulama-ulama fiqh.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana pengertian/penjelasan Syirkah?
b.      Bagaimana pengertian /penjelasan Mudharabah Atau Qiradh?
c.       Bagaimana pengertian/penjelasan Musaqah?
d.      Bagaimana pengertian/penjelasan Muzara’ah Dan Mukhabarah?

3.      Tujuan Masalah
a.       Untuk mengetahui pengertian/penjelasan Syirkah.
b.      Untuk mengetahui pengertian/penjelasan Mudharabah atau Qiradh.
c.       Untuk mengetahui pengertian/penjelasan Musaqah.
d.      Untuk mengetahui pengertian/penjelasan Muzara’ah dan Mukhabarah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  SYIRKAH
a). Pengertian
     Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilah yang artinya campur atau pencampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyadun. Maksud pencampuran disini ialah seseprang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.

     Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah, para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:
1.      Sayyid Sabiq,
           Akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
2.      Muhammad al-Syarbini al-Khatib
           Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).
3.      Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira
           Penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.
4.      Idris Ahmad
           Syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji dan akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, dimana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

     Setelah diketahui definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama. [1]

b). Landasan Syirkah
1.      Al-Qur’an
            Dalam Q.S. Shad ayat 24
Artinya:
“sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan amat sedikitlah mereka ini”.

2.      As-Sunah
                        Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : “aku jadi ketiga antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak berkhianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat, kepada pihak yang lain maka keluarlah aku drinya”.

3.      Ijma’
            Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.[2]

c). Rukun dan Syarat Syirkah

       Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.

       Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah menjadi empat bagian berikut ini :
1.      Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirksh baik dengan harta maupun yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu a) yang berkenaan dengan benda diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), ada dua perkara yaitu, yaitu a) bahwa modal yang dijadikan ojek adalah dari alat pembayaran, seperyi riyal, dan rupiyah, b) yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan.
3.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan a) modal harus sama, b) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.      Adapun yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat syirkah mufawadhah.

       Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh dan pintar.

       Syafiiyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.

       Dijelaskan pula oleh Abd. Al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua orang yang berserikat sighat dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja.[3]

d) Pembagian
       Pembagian terbagi atas dua macam yaitu syirkah amlak (kepemilikan) dan ‘uqud (kontrak). Syirkah amlak adalah syirkah yang bersifat memaksa dalam hukum positif, sedangkan syirkah uqud adalah yang bersifat ikhtiyar (pilihan sendiri)
1.      Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah dua orang atau lebih yang miliki barang tanpa adanya akad. Syirkah ini ada dua macam:
a)      Syirkah sukarela (ikhtiyar)
Yang muncul karena adanya konrtak dari dua orang yang bersekutu.
b)      Syirkah paksaan (ijbar)
Syirkah yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya , seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi waris menjadi sekutu baginya.

2.      Syirkah ‘Uqud
Merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.
Menurut ulama Hanabilah, dibagi menjadi lima, yaitu:
a)      Syirkah ‘inan
Persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang secara besama, dan membagi laba atau kerugian bersama.
b)      Syirkah muwafidhah
Transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan keuntungan, pengolahan, serta agama yang dianut.
c)      Syirkah abdan
Persekutuan dua orang untuk menerima suatu pekerjaan yang akan dikerjakan secara bersama-sama. Keuntungan dibagi dengan menetapkan persyaratan tertentu.
d)     Syirkah wujuh
Bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan dan menjualnya secara kontan, dan keuntungan dibagi denhgan syarat tertentu.
e)      Syirkah mudharabah. [4]


e) Syarat Syirkah
Syarat Syirkah ‘Uqud
Menurut ulama Hanafiyah, syarat syirkah ‘uqud dibagi atas dua macam ‘am (umum) dan syarat khas (khusus).
Syarat syirkah uqud:
a)      Dapat dipandang sebagai perwakilan
b)      Ada kejelasan dalam pembagian keuntungan
c)      Laba merupakan bagian umum dari jumlah.[5]

Syarat khas (khusus)
a)      Modal syirkah harus ada dan jelas
b)      Modal harus bernilai dan berharga secara mutlak

Syarat Khusus Syirkah Mufadhilah
       Ulama hanafiah menyebutkan beberapa syarat:
a)      Setiap aqid harus ahli dalam perwakilan dan jaminan, keduanya harus merdeka, baligh, berakal dan dewasa.
b)      Ada kesamaan modal dari segi ukuran, harga awal dan akhir.
c)      Apapun yang pantas menjadi modal dari salah seorang yang bersekutu dimasukan dalam perkongsian.
d)     Ada kesamaan dalam berdagang.
e)      Pada akad, harus menggunakan kata muwafidhah.

Persyaratan diatas harus dipenuhi, jika salah satu tidak ada, perkongsian ini akan berubah menjadi perkongsian inan.[6]

Syarat Syirkah A’mal
       Jika syirkah ini berbentuk muwafidhah, harus memenuhi persyaratan muwafidhah diatas. Akan tetapi, jika syirkah ini berbentuk ‘inan, hanya disyaratkan ahli dalam perwakilannya saja. [7]

Syarat syirkah Wujuh
       Apakah syirkah ini berbentuk muwafihah, hendaklah yang bersekutu itu ahli dalam memberikan jaminan, dan masing-masing harus memiliki setengah harga yang dibeli. Selain itu, keuntungan dibagi dua dan ketika akad harus menggunakan kata muwafidhah.
       Jika syirkah ini berbentuk ‘inan, tidak disyaratkan harus memenuhi persyaratan diatas dan dibolehkan salah seorang aqid melebihi yang lain. Hanya saja, keuntungan harus didasarkan pada kadar tanggungan. Jika meminta lebih, akad batal. [8]

f)       Hukum Syirkah
1.      Hukum Syirkah Uqud
            Terbagi menjadi dua yaitu shahih dan fasid, perkongsian dikatakan fasid (rusak) apabila tidak memenuhi persyaratan yang disebutkan diatas. Adapun perkogsian shahih adalah perkongsian yang memenuhi persyaratan kesahihannya.
·         Hukum Syirkah ‘Inan Amwal
Ø  Syarat pekerjaan
Dibolehkan kedua orang yang berserikat untuk menetapkan persyaratan bekerja.
Ø  Pembagian keuntungan
Pembagian keuntungan bergantung pada besarnya modal.
Ø  Harta syirkah rusak
Jika terjadi kerusakan pada harta syirkah sebelum dibelanjakan, atau pada salah satu harta sebelum di campurkan, syirkah batal. Hal ini karena yang ditransaksikan dalam syirkah inan adalah harta.
Ø  Pendayagunaan harta syirkah
Setiap anggota berhak memperjual belikan harta syirkah, karena seseorang berserikat memiliki dan memberikan iin rekannya untuk mendayagunakan harta mereka, juga diperbolehkan berbelanja, baik secara kontan maupun ditangguhkan.[9]

·         Hukum syirkah Muwafidhah dan Amwal
            Segala sesuatu yang dibolehkan ber-tasharruf dalam perkongsian ‘inan juga boleh dilakukan dalam perkongsian muwafidhah. Segala persyaratan dalam syirkah ‘inan diharuskan pula dalam syirkah muwafidhah. Hal ini karena syirkah mufawidhah pada hakikatnya adalah syirkah ‘inan yang ditambah.[10]

·         Hukum Syirkah Wujuh
            Jika syirkah wujuh berbentuk syirkah muwafidhah berarti berbagai hal yang berkaitan dengan jual beli harus sama sebab mufawidhah melarang ketidaksamaan.

·         Hukum Syirkah A’mal
Ø  Berbentuk mufawidhah
Apabila syirkah amal berbentuk mufawidhah, setiap yang bersekutu diwajibkan untuk menanggung segala sesuatu yang berhubungan dengan syirkah.
Ø  Berbentuk inan
Segi kebaikan dari syirkah ini adalah dapat menuntut pekerjaan dari salah seorang yang bersekutu, untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab bersama.
Ø  Pembagian laba
Pembagian laba pada syirkah ini bergantung pada tanggungan bukan pada pekerjaan.
Ø  Penanggungan kerugian
Menanggung kerugian pada syirkah juga bergantung pada jaminan yang mereka berikan. [11]

g) Sifat Akad Perkongsian dan Kewenangan
1.  Hukum kepastian Syirkah
                        Kebanyakan ulama fiqh berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan tetapi tidak lazim. Oleh karena itu, salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas sepengetahuan rekannya untuk menghindari kemudaratan.
2.      Kewenangna yang Berserikat
                        Para ahli fiqh sepakat bahwa kewenangna syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan, karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya.[12]

h)  Hal yang membatalkan Syirkah
       Perkara yang membatalkan syirkah dibagi atas dua hal, yaitu:
1.      Pembatalan Syirkah Secara Umum
·         Pembatalan dari salah seorang yang bersekutu
·         Meninggalnya salah seorang syarik
·         Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
·         Gila

2.      Pembatalan Secara Khusus
·         Harta syirkah rusak
             Apabila harta syirkah rusak keseluruhan atau harta salah seorang rusak sebelum dibelanjakanm stirkah batal.
·         Tidak ada kesamaan Modal
             Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah muwafidhah pada awal transaksi, perkongsian batal, sebab hal itu merupakan syarat transaksi muwafidhah.[13]

B. MUDHARABAH ATAU QIRADH
1. Pengertian
               Mudharabah berasal dari kata al-dharb yang berarti secara harfiah berpergian atau berjalan. Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
               Jadi menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qayh’u (potongan), berjalan, dan atau berpergian.

               Menurut istilah dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
1.      Menurut Hanafiyah
         Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.
2.      Malikiyah
         Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)
3.      Imam Hanabilah
         Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagiandari keuntungan yang diketahui.
4.      Ulama Syafi’iyah
         Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.

Setelah diketahu beberapa pengertian, kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua pihak sesuai jumlah kesepakatan.[14]

2. Dasar Hukum Mudharabah
               Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual”.
               Qiradh atau mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad mengadakan perjalan ke syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a., yang kemudian menjadi istri beliau.

3.      Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
a)      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
b)      Orang yang bekerja atau mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
c)      Akad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
d)     Harta pokok/modal
e)      Pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba
f)       Keuntungan

Menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.

Syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat mudharabah adalah sebagai berikut:
a)      Modal yang diserahkan tunai, apabila barang itu berbentuk mas, perak batangan, mas hiasan atau barang dagangan lainnya mudharabah tersebut batal.
b)      Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf.
c)      Modal harus diketahui dengan jelas.
d)     Keuntungan harus jelas.
e)      Melafazkan ijab dari pemilik modal.
f)       Mudharabah bersifat mutlak. Pemilik modal tidak mengikat. [15]

4.      Kedudukan Mudharabah
             Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah juga tergantung pada keadaan. [16]



5.      Biaya pengelolaan Mudharabah
             Biaya bagi mudharib di ambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di daerahnya, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah.
             Namun jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah.
             Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak masalah biaya dapat diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan.[17]

6.      Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal
             Jika pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh. Jika mudharabah telah fasakh, sedangkan modal berbentuk ‘urud (barang dagangan), pemili modal dan pengelola modal menjualnya atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua. [18]

7.      Pembatalan Mudharabah
             Mudharabah menjadi batal apabila perkara-perkara sebagai berikut:
1.      Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
2.      Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya.
3.      Apabila pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[19]

C. MUSAQAH
1. Pengertian
       Musaqh diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada pohon anggur, (mengurusinya), atau pohon-pohon yang lainya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendatngkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.

       Menurut istilah, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
1.      Abdurrahman al-Jaziri
             Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
2.      Malikiyah
             Sesuatu yang tumbuh ditanah.
3.      Syafi’iyah
             Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan bekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.
4.      Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah
             Memperkerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.

                   Setelah diketahui definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama diatas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. [20]

2. Dasar Hukum Musaqah
       Asas hukum musaqah ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi”. [21]

3. Rukun dan Syarat Musaqah
Ruku n musaqah menurut ulama Syafi’iyah ada lima berikut ini.
1.      Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah) disyaratkan sighat dengan lafaz dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
2.      Dua orang atau pihak yang berakad.
3.      Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparoh, baik yang berbuah tahunan maupun yang berbuah sekali setelah itu mati, seperti padi, jagung, dll.
4.      Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan. Dan pekerjaan yang dilakukan tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon.
5.      Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing.[22]

4. Musaqah yang dibolehlkan
       Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh dimusaqahkan hanya kurma. Menurut Syafi’iyah, yang boleh hanyalah kurma dan anggur saja sedangkan menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar kedasar bumi dapat dimusaqahkan, seperti tebu.

       Menurut Imam Malik musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar yang kuat, seperti delima, tin, zaitun dan pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak kuat, seprti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan untuk menggarapnya.

       Menurut mazhab Hanbali, musaqah dibolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Dalam kitab al-mughni, Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. [23]

5. Tugas Penggarap
       Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah, ditambahkan pula untuk setiap pohon yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah dan perintisan batangnya. [24]

6. Penggarap Tidak Mampu Bekerja
       Apabila penggarap tidak mampu bekerja karena sakit atau berpergian mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal). Tergantung pada akad, bila tidak dapat digantikan maka batal, jika dapat diwakilkan maka tidak batal, tetapi penggarap diwajibkan mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab Hanafi. D
      
       Dalam penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohom-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam Malik, penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk mengganti tugasnya. Orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah karena orang kedua dibayar oleh musaqi dengan perjanjian.

       Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa musaqah batal apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada dikebun atau disawah yang di-musaqah-kan sebab penggarap telah kehilangan kemampuan untuk menggarapnya.[25]

7. Wafat Salah Seorang ‘Aqid
       Menurut Mazhab Hanafi, apabila seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon-pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut, demi menjaga kemaslahatan, penggarap melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberspa ahli warisnya, sehingga buah itu masak dan siap untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakuikan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam hal seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah, penggarap tidak berhak mendapat upah.

       Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau fasakh-nya akad, mereka tidak boleh dipaksa. Tetapi jika mereka memetik buah yang belum layak dipanen, hal itu mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya sehingga dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
1.      Memetik buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
2.      Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang karena dialah yang berhak memotong atau memetik.
3.      Pembiayaan pohon sampai buahnya matang, kemudian hal ini dipotong dari bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya atau nilai barangnya (uang). [26]

D. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1. Pengertian
       Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muaraah yang berarti tharh al-ur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya ialah modal (al-hadzar). Menurut istilah, muzara’ah dan mukhabarah didefinisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut:
1.      Hanafiyah
             Muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.
             Sedangkan mukhabarah menurut Syafi’iyah ialah: akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi.
2.      Haabilah
             Muzara’ah ialah pemilik tanah hyang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanamai dan yang bekerja diberi bibit.
3.      Malikiyah
             Muzara’ah ialah bersekutu dalam akad.
4.      Al-Syafi’i
             Mukhabarah ialah menggarap tanah dengan apa yang dilakukan dari tanah tersebut.
             Muzara’ah ialah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.

       Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain  untuk dikelola. Perbedaannya adalah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah. [27]

2. Dasar Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
       Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan dasar hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a. “sesungguhnya Nabi SAW menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”.

       Diriwayatkan oleh Muslim dari Thawus r.a.
“sesungguhnya Thawus r.a bermukhabarah, Umar r.a bekata; dan akau berkata kepadanya; ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata; telah menceritakan padaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal ituu, yaitu Ibn Abbas, bahwa Nabi SAW tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata, bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi”.

Demikianlah beberapa dasar hukumnya Mukhabarah dan Muzara’ah. [28]

3. Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya
       Menurut Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun jumlah rukun muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat yaitu 1) tanah, 2) perbuatan pekerja, 3) alat-alat untuk menanam.
       Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
1.      Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu; a) bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya presentasenya ketika akad. b) hasil adalah milik bersama, c) bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah, d) bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui, e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu a) tanah tesebut dapat ditanami, b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.      Hal yang berhubungan denan waktu, yaitu a) waktunya telah ditentukan, b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud, c) waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.

Menurut Hanabilah, rukun muzara’ah ada satu, yaitu ijabdan kabul, boleh dilakukan dengan lafadz apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan kabul dan bahkan muzara’ah sah dilafadzkan dengan lafadz  ijarah.[29]

4.Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
            Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak di antara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang dan lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi tidak memiliki ternak untuk mengolah sawah dan ladang nya tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak menghasilkan suatu apa pun.
            Muzara’ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak adanya tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.
            Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.[30]







BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN

            Dapat disimpulkan bahwa dalam makalah yang kami susun, yaitu mengenai tentang pengertian syirkah, mudharabah atau qiradh, musaqah, muzara’ah dan mukhabarah. Dengan pengertiannya yang berbeda-beda.
1.      Syirkah
            Yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama.
2.      Mudharabah atau qiradh
            Mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua pihak sesuai jumlah kesepakatan.
3.      Musaqah
            Musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.
4.      Muzara’ah dan Mukhabarah
            mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain  untuk dikelola. Perbedaannya adalah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.








DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010.
Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.



[1]  Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 125
[2]  Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 185
[3]  Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm.127
[4]  Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 187
[5]  Ibid., hlm. 193
[6]  Ibid., hlm. 196
[7]  Ibid., hlm. 197
[8]  Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 197
[9]  Ibid., hlm. 198
[10]  Ibid., hlm. 199
[11]  Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 200
[12]  Ibid., 201
[13]  Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 201
[14]  Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 135
[15] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 139
[16]  Ibid.,
[17] Ibid., hlm. 141
[18]  Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm.142
[19]  Ibid., hlm. 143
[20] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 145
[21]  Ibid., hlm. 148
[22]  Ibid.,
[23] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 149
[24]  Ibid., hlm. 150
[25]  Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 150
[26]  Ibid., hlm. 151
[27]  Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 153
[28] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 156
[29] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 158
[30]  Ibid., hlm. 159