Rabu, 09 April 2014

Makalah Monogami dan Poligami



MONOGAMI DAN POLIGAMI

Tugas ini disusun guna Memenuhi Tugas Kelompok  Mata Kuliah
 MASAILUL FIQIH

Dosen Pengampu : M. Badaruddin, M.Pd.I

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEji9ZlRx6JLzNRMR4OoRdaJsCppxHM-aw1cuN12J9H5vO0RNiFAOLwwAwZVtuu1JMq8SzSqx6wK8KCAJHCIbSelrIc76Z4F2G9yGot67DEMv6jaW6489a8nLWYsBhZQOR0_giXSLnT2cMhn/s320/Logo_STAIN_Jurai_Siwo_Metro_Lampung.jpg











Disusun oleh:
Kelompok IV
Imam Mahmudi (1283381)
M. Zulhilmi Basyirudin (1168061)
Toni Yusuf Permadi (1284961)



JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
                                                              2013
KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikann makalah ini yang berjudul Monogami dan Poligami  dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumul kiamah.
            Penulis menyadari didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Bapak M. Badaruddin, M.Pd.I selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan kepada kami dalam rangka penyelesaian makalah ini.
2.      Kepada orang tua yang memotivasi kami sehingga makalah ini terselesaikan.
3.      Kepada teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, maka penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih banyak kekuarangan dan kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyajian materi. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan guna penyempurnaan dalam penyusunan dan penulisan tugas kelompok ini dan tugas-tugas selanjutnya.


                                                                                    Metro, 3 April 2014


                                                                                                Penulis





DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................... ii
Daftar isi............................................................................................................... iii

1.      Bab I  Pendahuluan..................................................................................... 1
a.       Latar Belakang Masalah................................................................................. 1
b.      Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
c.       Tujuan............................................................................................................. 2
2.      Bab II Pembahasan...................................................................................... 3
a.       Pengertian Poligami............................................................................. 3
b.      Dasar Hukum Poligami....................................................................... 3
c.       Alasan Monogami Dan Poligami......................................................... 5
d.      Syarat Yang Harus Dipenuhi Seseorang Yang Berpoligami............... 7
e.       Akibat Negatif Dari Berpoligami........................................................ 10

3.      Bab III Penutup............................................................................................ 12
a.       Kesimpulan ............................................................................................ 12

Daftar Pustaka



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Bangsa-bangsa dan agama-agama sebelum Islam memperbolehkan kawin dengan jumlah perempuan yang sangat banyak, puluhan hingga ratusan, tanpa syariat atau batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, ditentukan batas dan syarat-syarat poligami itu.

            Batasannya, Islam mengizinkan batas maksimal empat orang istri. Ghailan Ats-Tsaqafi ketika masuk Islam, ia beristri sepuluh orang. Nabi saw pun berkata kepadanya, “pilihlah empat diantaranya dan tinggalkan sisanya” (Syafi’i, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daruquthni, dan Baihaqi).

            Demikian pula orang yang masuk Islam dengan membawa Isteri delapan atau lima orang, Rasulullah saw melarang mempertahankan kecuali empat orang diantaranya. Sedangkan perkawinan Rasulullah saw dengan sembilan isteri, ini adalah kekecualian dari Allah swt berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah di masa hidupnya.

            Islam membolehkan seorang suami memiliki isteri lebih dari satu (berpoligami) tetapi tidak mewajibkannya. Oleh karena itu islam tidak dengan mudah membolehkan poligami. Ada beberapa syarat, ketentuan yang harus dipenuhi seorang suami bila hendak melakukan poligami, diantaranya adalah sang suami harus memberikan tempat tinggal yang layak dan memisahkan tempat tinggal itu dari isteri pertama, memberi nafkah yang adil antara isteri-isteri, tidur secara adil diantara mereka dan memperlakukan mereka dengan adil pula.

            Dibawah ini akan kami jelaskan tentang pengertian poligami, dasar hukum, alasan-alasan seseorang berpoligami, syarat berpoligami dan dampak negatif yang mungkin timbul dari berpoligami.
B. Rumusan Masalah
a)      Bagaimana Pengertian Poligami?
b)      Bagaimana Dasar Hukum Poligami?
c)      Bagaimana Alasan Monogami Dan Poligami?
d)     Bagaimana Syarat Yang Harus Dipenuhi Seseorang Yang Berpoligami?
e)      Bagaimana Akibat Negatif Dari Berpoligami ?

C. Tujuan Masalah
a)      Untuk Mengetahui Poligami.
b)      Untuk Mengetahui Dasar Hukum Poligami.
c)      Untuk Mengetahui Alasan Monogami Dan Poligami.
d)     Untuk Mengetahui Syarat Yang Harus Dipenuhi Seseorang Yang Berpoligami.
e)      Untuk Mengetahui Akibat Negatif Dari Berpoligami.















BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN POLIGAMI

            Kata Monogamy dapat dipasangkan dengan poligami sebagai  antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan istri tunggal  yang  artinya seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.

            Istilah poligami berasal dari bahasa Inggris “poligamy” dan disebut “ta’addu duzzaujaati” dalam hukum Islam, yang berarti beristeri lebih dari seorang wanita.[1]

            Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan  dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.

B. DASAR HUKUM POLIGAMI

1. Hukum Menurut Al-Qur’an dan hadits
            Sepakat ulama madzhab menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah tangga, dibolehkan melakukan poligami sampai empat isteri, a. a. al-Qur’an surat an-Nisa ayat tiga (3)
            yang artinya Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. [2]

b. Hadits Nabi SAW
            Bahwasanya Rasulullah saw berkata kepada Ghailan bin Salamah ketika ia masuk Islam yang padanya ada 10 isteri, milikilah 4 isterimu dan ceraikanlah yang lainnya (HR. An Nasaa’y).[3]

            Demikian pula orang yang masuk Islam dengan membawa Isteri delapan atau lima orang, Rasulullah saw melarang mempertahankan kecuali empat orang diantaranya. [4]

            Sedangkan perkawinan Rasulullah saw dengan sembilan isteri, ini adalah kekecualian dari Allah swt berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah di masa hidupnya.[5]

            Jelaslah bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan sembilan isterinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadisnya dari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi SAW masih berusia muda. Tetapi kenyataannya adalah Nabi pada usia 25 tahun kawin dengan Khadijah seorang janda umur 40 tahun dan pasangan suami isteri ini selama lebih kurang 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dan bahagia dan mendapatkan keturunan, dua anak laki-laki, tetapi meninggal masih kecil dan empat anak perempuan. [6]

2. Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 (UU P)
            Apakah memang poligami ini boleh, pantas atau tidak mungkin dilakukan. Terkait dengan hal ini, kita lihat pasal 3 UU P: “(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” Dengan demikian pada dasarnya kita menjunjung tinggi keagungan cinta suami istri yang pada saat melangsungkan pernikahan pertama kali berasal dari satu suami satu istri. Karena memang tidak dimungkinkan pernikahan pertamakali diadakan antara satu suami dengan beberapa istri. Namun demikian hukum di Indonesia memungkinkan untuk memperistri wanita idaman lain bagi suami dan sangat dilarang keras bagi si istri untuk mempersuami pria idaman lain alias poliandri.

            Lebih lanjut pasal 4 berbunyi: “(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.”

C. ALASAN-ALASAN MONOGAMI DAN POLIGAMI

            Setiap pilihan, baik monogami ataupun poligami, memiliki implikasi positif di samping membawa konsekuensi resiko yang negatif. Karena umat manusia secara fitrah mempunyai potensi positif dan negatif dari arah kedua kecenderungan tersebut. Adanya watak cemburu kaum wanita, iri hati, dan suka mengeluh yang mudah timbul dengan dalam kehidupan keluarga poligamis. Dengan demikian, poligami secara empiris memang bisa menjadi sumber konflik antara isteri-isteri serta anak-anak dari isteri-siterinya, maupun konflik antara isteri dan isteri serta anak-anaknya masing-masing.[7]

            Dibawah ini akan dikemukakan beberapa alasan mengappa seseorang melakukan monogami dan alasan mengapa seseorang pria melakukan poligami, diantaranya adalah :
1. Alasan Monogami
a)      Tidak sanggup berlaku adil

b)      Tidak sanggup menafkahi
            Surat An Nisa’ ayat 34 menegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Dalam hadits disebutkan pula bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya. Dan salah satu kewajibannya adalah memberikan nafkah. 
            ”Dan kalian wajib memberi nafkah kepada mereka (para istri) dan memberi pakaian secara ma’ruf” (HR. Muslim)
            Maka bagi laki-laki yang dengan satu istri saja tidak sanggup menafkahi dengan baik, sebaiknya ia tidak melakukan poligami.

c)      Tidak sanggup membahagiakan
            Kebahagiaan adalah hal yang dirindukan oleh siapa saja. Termasuk oleh orang yang menikah. Seorang perempuan mengharapkan bisa berbahagia dalam pernikahannya. Demikian pula seorang laki-laki.

d)     Tidak sanggup mengelola kecemburuan
            Wanita adalah makhluk pencemburu. Kecemburuan antar-istri dalam berumah tangga bahkan terjadi dalam kehidupan Nabi. Misalnya dalam kisah Nabi Ibrahim, antara Hajar dan Sarah. Bahkan, dalam kehidupan Rasulullah. Bagaimana sampai menjatuhkan nampang, dan sebagainya.
e)      Tidak sanggup mengatur waktu
            Jika seorang laki-laki khawatir tidak sanggup mengatur waktu dengan bertambahnya istri, sebaiknya ia monogami saja. Menikah dengan lebih dari satu istri artinya menambah kewajiban. Menambah jumlah orang yang harus dipenuhi hak-haknya, bukan hanya masalah materi tetapi juga perhatian dan kasih sayang yang seluruhnya membutuhkan waktu. Termasuk kepada anak-anaknya dari seluruh istri.

2. Alasan Poligami
a)      Untuk memberi kesempatan bagi laki-laki untuk memperoleh keturunan dari isteri kedua, jika isterinya yang pertama mandul.
b)      Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak. [8] Melacur, untuk menjadi umpan dan permainan kaum laki-laki yang rusak. Muncullah pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya anak-anak haram, anak-anak temuan yang kehilangan hak-hak secara materi dan moral, sehingga menjadi beban sosial bagi masyarakat.
c)      Untuk memberi kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar mendapatkan suami yang berfungsi untuk melindunginya, memberinya nafkah hidup serta melayani kebutuhan biologisnya.
d)     Untuk menghindarkan laki-laki dari perbuatan zina, jika isterinya tidak bisa di kumpuli karena terkena suatu ppenyakit yang berkepanjangan.

            Dari beberapa alasan poligami yang telah dikemukakan diatas, memberikan keterangan bahwa poligami yang dibolehkan dalam islam harus berlandaskan atau beralasan serta bertujuan untuk melindungi laki-laki dan perempuan, bukan hanya memberi peluang laki-laki yang tukang kawin tanpa mau bertanggung jawab. [9]
           
D. SYARAT YANG HARUS DIPENUHI SESEORANG YANG BERPOLIGAMI
            Syarat yang dituntut Islam dari seorang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa ia bisa berlaku adil diantara dua isteri atau isteri-isterinya dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, dan nafkah serta kebutuhan biologis. Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilnya, haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan. Allah swt berfirman,
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (An-Nisa’ : 3)
Beliau saw. Juga bersabda,
“Barangsiapa mempunyai dua isteri, sementara ia lebih condong kepada salah satu diantara keduanya, maka pada hari kiamat nanti akan datang dengan menyeret salah satu belahan tubuhnya yang terjatuh atau miring”. (HR. Ahlus Sunan, Ibnu Hibban, dan Hakim). [10]

            Miring yang diperingatkan dalam hadits ini adalah ketidakadilan dalam hak-haknya, bukan sekedar kecenderungan hati, karena yang disebut terakhir ini termasuk hal yang susah dipenuhi, bahkan dimaklumi dan dimaafkan Allah swt, Allah swt berfirman,
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa’ : 129)[11]

            Karena itulah, Rasulullah saw dahulu membagi-bagi secara adil dan berkata: “Ya Allah, inilah pembagianku sebatas apa yang bisa aku miliki. Karena itu, janganlah Kau siksa aku dalam hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”. (HR. Ashabus Sunan). [12]

            Dan apabila Rasulullah hendak berpergian, beliau saw mengundi mereka (kesembilan isteri beliau). Barangsiapa diantara mereka namanya muncul, dialah yang berhak ikut bersamanya. Beliau lakukan itu tidak lain kecuali untuk menghindari penyesalan dan demi kelegaan hati semua pihak dari kesembilan isteri beliau Rasulullah saw.[13]

            Syarat-syarat poligami antara lain :
a)      Kemampuan melakukan poligami
b)      Berlaku adil terhadap para isteri dalam hal pembagian giliran dan nafkah. Seorang lelaki yang menikah menanggung berbagai kewajiban terhadap isteri dan anaknya termasuk nafkah. Seorang lelaki yang melakukan poligami memikul tambahan kewajiban nafkah dengan sebab bertambah isterinya.

D. AKIBAT NEGATIF DARI BERPOLIGAMI

            Agama Islam, sebagai salah satu agama yang mengizinkan praktek poligami, memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang pria apabila mau melakukan poligami.

            Di antara hikmah syariat Islam yang rahmatan lil’alamin adalah ia tidak menetapkan prinsip monogami ataupun poligami sebagai salah satu asas perkawinan dalam islam yang berorientasi kepada pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia dalam bingkai sakinah, mawaddah dan rahmah. Bila kita yakini bahwa pernikahan merupakan manivestasi ibadah, maka nilai ibadah sangat ditentukan oleh niat dan caranya. Bila niatnya benar dan caranya ihsan maka akan bernilai ibadah, demikian sebaliknya akan bernilai maksiat. Nilai ibadah bukan sekadar pada kuantitasnya, namun juga kualitasnya dan pernikahan yang diridhoi dan mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin tidak dapat ditentukan dengan kuantitas (satu atau lebih dari satu), melainkan oleh kualitas rumah tangga dan prosesnya yang meliputi niat yang benar dan caranya yang ihsan (baik). [14]

            Beberapa dampak negatif yang timbul akibat berpoligami, antara lain:
a)      Dampak Psikologis
Perasaan menyalahkan diri isteri karena merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.
b)      Dampak Ekonomi Rumah Tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

c)      Dampak Hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.

d)     Dampak Kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.

e)      Kekerasan Terhadap Perempuan
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.

           








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

            Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Ataupun Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan  dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.

            Jika seseorang ragu mampu berperilaku adil dan mampu memberi perlakuan yang sama untuk memenuhi hak-hak mereka sebagai isteri, maka sebaiknya seorang suami memiliki isteri satu dan ia tidak diperkenankan menikahi perempuan yang kedua dan seterusnya. Namun, bila seorang suami bisa berlaku adil dan memberikan hak yang sama kepada kedua orang isteri atau lebih, maka ia diperbolehkan menikahi isteri yang ketiga. Namun, pada dasar hukum poligami yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 (UU P) terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi jika seorang suami ingin beristeri lebih dari satu (berpoligami) dan juga wajib wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.


DAFTAR PUSTAKA

Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003
Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000
Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003



[1]  Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hlm. 59
[2]  Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hlm. 62
[3]  Ibid., hlm. 63
[4]  Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000, hlm. 273
[5]  Ibid., hlm. 273
[6]  Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 269
[7]  Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 268
[8] Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 268
[9]  Mahyuddin, Haji, Masailul Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, hlm. 61
[10]  Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000, hlm. 274
[11]  Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, Surakarta: Era Intermedia, 2000, hlm. 274
[12]  Ibid., hlm. 275
[13]  Ibid., hlm 275
[14]  Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 267