PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIK
TAFSIR 2
Dosen Pengampu
Ervan Nurtawab, M.A
Nip:198011042009011008
Oleh:
Kelompok 6:
Kelas E
1.
Khoirul Isnani (1283551)
2.
Sobirin
(1284701)
3.
Toni
Yusuf Permadi (1284961)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
Th. 2013
PEMBAHASAN
A.
Istilah
Al-Quran Untuk Pendidik
1. Ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Guru
Para guru dipandang
sebagai faktor yang sangat penting menentukan berlangsungnya kegiatan pendidikan
dan pengajaran. Nana Sodik mengatakan, bahwa tanpa adanya kurikulum, ruang
kelas dan lainnya, kegiatan pendidikan akan tetap berjalan apabila ada guru
yang bertugas sebagai pendidik dan pengajar.[1]
Dalam ini, kita akan
mengkaji ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah guru yang kemudian dianalisa
dengan pandangan para ahli pendidik. Kita misalnya menjumpai istilah ulama (Q.S
Al-Syu’ara, 26:197; Fatir 35:28); (Q.S Ali Imran 3:7; Al-nisa, 4:162);
ahl-Dzikr, (Q.S al-Nahl, 16:43); al-Murabbi (Q.S al-Fatihah 1:2); al-Mudzakki
(Q.S al-Baqarah, 2:151, 129, 174; ali-Imran, 3:77 dan 164; al-Jumu’ah. 62:2 dan
Thaha 2); Ulul al-Bab, (Q.S Ali-Imran 3:190); Muwa’idz (Q.S al-Syu’ara, 26:136;
Luqman 31:13; al-Nisa, 4:63; al-Baqarah, 2:231); Uli al-Nuha (Q.S Thaha, 20:54
dan 128) beberapa istilah ini lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Pertama,
istilah ulama. Istilah ulama adalah bentuk jamak (plural) dari kata alim yang
menunjukan pada seseorang yang memiliki pengetahuan diatas rata-rata kemampuan
yang dimiliki orang lain. Kata ulama dan alim selanjutnya diartikan sebagai
orang yang tahu, atau orang yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan
kealaman yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk
kepada Allah SWT.
Di dalam al-Quran kata ulama ditemukan pada dua tempat. Pertama,
dalam surat Fathir ayat 28 yang berbunyi:
Artinya:
“sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama”
Jika ayat ini
dihubungkan dengan ayat sebelumnya (ayat 27) pengertian ulama pada ayat
tersebut adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan ilmu kealaman atau
ilmu kauniyah.
Kedua, dalam surat al-Syu’ara ayat 196 dan 197 yang berbunyi:
Artinya:
“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam
kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka
bahwa para ulama Bani Isra’il mengetahuinya?”.
Dari kedua ayat
tersebut dapat disimpulkan bahwa ulama adalah orang yang mengetahui tentang
kealaman dan ilmu agama dan pengetahuan yang dimilikinya itu dipergunakan untuk
mengantarkannya pada rasa khasyyah kepada Allah SWT.
Pada masa al-khulafa
al-rasyidin (empat khalifah yang jujur) tidak ada pemisahan antara orang yang
memiliki pengetahuan agama, ilmu pengetahuan kealaman, dan pemimpin politik
praktis. Baru pada masa pemerintahan bani umayyah dan sesudahnya, istilah ulama
lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan
karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi. Sementara
itu orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut
sebagai ulama, tetapi disebut ahli dalam bidangnya masing-masing. Ahli filsafat
juga tidak disebut ulama. Mereka disebut falaisuf (filosof) atau hukama
(orang-orang yang memiliki kebijaksanaan).
Di Indonesia, istilah ulama atau
alim ulama yang semula dimaksudkan sebagai bentuk jamak, berubah pengertiannya
menjadi bentuk tunggal. Pengertian ulama juga menjadi lebih sempit, karena
diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan ilmu keagamaan dalam bidang
fikih saja. Di Indonesia, ulama identik dengan fukaha bahkan dalam pengertian
awam sehari-hari, ulama adalah fukaha dalam bidang ibadah saja. Selanjutnya masyarakat
islam, menilai ulama sebagai pendukung utama ajaran agama, yang memberikan
nasehat dan contoh kehidupannya dianggap sebagai panutan. Dengan demikian ulama
Indonesia adalah orang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam
menginterpretasikan ajaran dan praktek tentang islam. Masyarakat memilih ulama
untuk dijadikan panutan, karena mereka diakui sebagai yang memiliki kualitas
dalam memahami agama. [2]
Selanjutnya Imam
al-Syathibi, berpendapat bahwa ulama atau mufti bagi masyarakat islam sama
kedudukannya setelah Nabi.[3]
Dalam melaksanakan fungsinya memberikan fatwa, maka seorang ulama pada dasarnya
adalah seorang mujtahid yang perlu memiliki berbagai persyaratan sebagai
berikut.
1.
Mengetahui
lima ratus ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum. Kemampuan menghafal
terhadap ayat-ayat tersebut tidak disyaratkan.
2.
Mengetahui
cara memperoleh akses terhadap kitab-kitab hadits; ia harus memiliki koleksi
hadits Abu Dawud atau Baihaqi, dan tidak mesti menghafalnya.
3.
Mengetahui
hakikat tentang praktek furu’iyyah dan hal-hal penting yang berkaitan dengan
ijma, dengan demikina ia tidak boleh menyimpang dari hukum islam yang telah
ditetapkan ijma.
4.
Mengetahui
metode yang berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang diambil dari teks.
5.
Mengetahui
bahasa arab, menguasai secara mendalam bahasa arab secara komplit tidak
dibutuhkan.
6.
Mengetahui
tentang peraturan yang berkaitan dengan ketentuan nasakh dan mansukh.
7.
Menguasai
cara menentukan hadits.
Maka yang dimaksud dengan ulama menurut al-Qur’an adalah seorang
muslim yang selain menguasai ilmu agama Islam yang bersumber pada wahyu yang
terdapat dalam al-Qur’an (ayat qouliah) dan al-Sunnah, juga menguasai ilmu
pengetahuan umum yang bersumber pada ayat kauniyah. Dengan mengusai ilmu agaa
dan ilmu umum secara mendalam tersebut ia kemudian memiliki rasa takut (takwa)
kepada Allah.
Dengan demikian,
seorang guru dalam pandangan al-Quran adalah seseorang yang memainkan peran
sebagai ulama sebagaimana tersebut. Yaitu seseorang yang mendalam ilmu agama
dan ilmu umumnya secara seimbang, kemudian mengajarkan ilmunya tersebut kepada
umat manusia atas dasar panggilan agama serta rasa takut kepada Allah SWT.
Dengan memainkan peran sebagai seorang ulama, seorang guru akan tampil sebagai
orang yang mengemban amanah suci dari Allah SWT, serta bertindak sebagai
pewaris Nabi.
Kedua,
al-rasikhuna fi al-ilm. Kata al-raisikhuna berasal dari kata rasakha,
yarsukhu, rusukhan yang berarti tetap dan lekat, dan al-rasikhu berarti
orang yang tetap dan orang yang lekat.[4]
Pemahaman tentang al-rasikhuna fi al-ilm di dalam al-Qur’an lebih lanjut
dapat dipahami dari ayat yang berbunyi :
Artinya:
“Dia-lah yang menurunkan kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isiny)a
ada ayat-ayat yang muhkamat , itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain
ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya cenderung kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S.
Ali Imran, 3:7)
Berdasarkan ayat
tersebut orang yang al-rasikhuna fi al-ilm adalah orang yang mendalam
ilmunya sehingga ia tidak hanya dapat memahami ayat-ayat yang jelas dan terang
maksudnya (ayat muhkamat), juga memahami ayat-ayat yang mengandung beberapa
pengertian (interpretable). Selain itu juga dapat menguasai pemahaman ayat
berdasarkan ta’wil, memiliki iman yang mendalam, memiliki kecerdasan diatas
rata-rata, sehingga ia dapat menangkap makna (pelajaran) dari setiap peristiwa.
Ketiga,
istilah ahl Dzikr. Kata ahl Dzikr dijumpai pada surat al-Nahl, 16:43
Artinya
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”.
Didalam Tafsir
al-Maraghiy jilid V, Iman al-Maraghiy menafsirkan ayat tersebut sebagai
berikut: “yang dimaksud dengan ahl Dzikr adalah ahl al-kitab sebagaimana
dinyatakan dalam ayat walalaq katabna fi al-dzabur min ba’di al-Dzikr
(sesungguhnya telh Kami tetapkan dalam kitab al-dzabur setelah al-Dzikr), yakni
Taurat, dan keterangan, yakni mu’jizat yang menunjukan atas kebenaran
Rasul, sedangkan al-dzabut mufradnya
adalah al-dzubur, yaitu kitab-kitab yang ajaran agama dan perintah yang
disampaikan oleh para Rasul kepada hamba-hamba-Nya; dan yang dimaksud dengan
al-dzikr adalah al-Qur’an, untuk menjelaskan kepada manusia, yakni untuk
menjelaskan kepada mereka apa yang tersembunyi dari kandungan ajaran agama”.[5]
Guru dalam perannya sebagai ahli al-dzikr selain berfungsi
sebagai orang yang mengingatkan para siswa dari berbuat yang melanggar larangan
Allah dan Rasul-Nya, juga adalah seseorang yang mendalami ajaran-ajaran yang
berasal dari Tuhan yang terdapat dalam berbagai kitab yang pernah diturunkan-Nya
kepada para Nabi dan Rasul-Nya dari sejak dahulu kala hingga sekarang. Sebagai
ahli al-Dizkr ia dapat mencari titik persamaan antara ajaran-ajaran yang
terdapat di dalam berbagai kitab tersebut untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat , istilah al-murabbi. Kata al-Murabbi berasal dari kata
ar-rabb yang secara harfiah berarti insyau al-sya’i balan fabalan ila
hazd al-tamam, yakni mengembangkan sesuatu setahap demi setahap hingga
mencapai tingkat kesempurnaan.[6] Seorang
murabbi adalah orang yang mengembangkan sesuatu setahap demi setahap hingga
mencapai tingkat kesempurnaan itu. Kata al-murabbi, lebih lanjut dapat dipahami
dari kata-kata rabb yang terdapat pada beberapa ayat sebagai berikut.
Artinya:
Segala puji bagi ALLAH , Tuhan semesta alam. (Q.S al-Ftihah, 1:2)
Kata rabb (al-murabbi) sebagaimana terdapat di dalam ayat tersebut
dijelaskan oleh Imam al-Maaraghi sebagai berikut : “ bahwa yang dimaksud
dengan al-rabb adalah al-sayyid (tuan) al-Murabbi, yaitu orang yang memelihara,
mengajar yang dibimbingnya dan diatur tingkah lakunya. Pendidikan ALLAH
terhadap manusia terbagi dua, yaitu pendidikan kejadian fisiknya yang dilakukan
dengan menumbuhkan fisiknya sehingga menjadi tegar dan kuat serta mengembangkan
kekutan jiwanya dan akal pikirannya; serta pendidikan keagamaan dan akhlak yang
diarahkan pada pembinaan kepribadiannya agar dengan demikian menjadi sempurna
akal pikirannya dan bersih jiwanya, dan bukan dtujukan pada yang lainnya yang
memungkinkan manusia beribadah, dan bukan pula dimaksudkan untuk menghalalkan
sesuatu dan mengharamkan yang lain, kecuali dengan izin-Nya. Kata rabb juga
dipergunakan untuk manusia seperti pada ucapan rabb al-dar wa rabb badzibi
al-an’am (pemelihara rumah dan pemelihara berbagai ni’mat ini) sebagaimana
terdapat pada hikayat Yusuf semoga Allah merahmatinya pada yang mengurusnya
yakni yang Mulia Penguasa Mesir dengan ucapan Innahu rabby maswaya
(sesungguhnya ia adalah pemeliharaku dengan pemeliharaan yang baik).
Kelima, istilah al-Muzakki. Kata al-Muzakki berasal dari kata zakka, yuzakki,
tazkiyatan yang berarti menyucikan atau membayarkan zakat. Yang melakukan tugas
membersihkan dan mensucikan diri adalah Allah dan Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian Allah dan Rasul-Nya di sebut al-Muzakki. Selanjutnya karena Allah dan
Nabi Muhammad SAW terkadang tampil sebagai guru, maka Nabi Muhammad SAW adalah
sebagai al-Muzakki.[7]
Kata-kata al-Muzakki lebih lanjut dapat dipahami dari ayat-ayat
sebagai berikut:
Artinya
“sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu yang belum kamu
ketahui”. (Q.S. al-Baqarah, 2:151)
Artinya
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada
mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Baqarah, 2:192)
Artinya
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit
(murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) kedalam perutnya
melainkan api, dan Allah tidak berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan
tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih”. (Q.S.
al-Baqarah, 2:174)
Artinya
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah
mereka dengan harta yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di
akherat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat
kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula mensucikan mereka). Bagi mereka
azab yang pedih.” (Q.S ali-Imran, 3:77).
Artinya
“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf
dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
mensucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunnah),
meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S.
al-Jumu’ah, 62:2).
Artinya
“Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar
engkau menjadi susah.” (Q.S. Thaha, 20:2)
Keenam, sebagai ulul al-bab, maka seseorang guru adalah sesungguhnya orang
yang senantiasa menggunakan akalnya untuk memikirkan dan menganalisa berbagai
ajaran yang berasal dari Tuhan, peristiwa yang terjadi disekitarnya untuk di
ambil makna dan ajaran yang terdapat didalamnya. Seorang guru adalah seorang
yang tercerahkan, memiliki inside yang kuat terhadap berbagai peristiwa yang
terjadi di masyarakat.[8]
Seperti dalam yang terdapat di dalam al-Qur’an pada surat ali
-Imran ayat 190:
Artinya
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang berakal”.
(Q.S. ali-Imran, 3:190)
Ketujuh, al-muwa’idz.
Kata al-muwa’idz berasal dari kata
al-wa’dz yang secara harfiah berarti jazr muqtarinun bi takhwif. Qala
al-Khalil, huwa al-tadzkir bi al-khair fima yariqqu lahu al-qalb, yang artinya
peringatan yang disertai menakut-nakuti. Sedangkan menurut al-Khalil, bahwa
al-wa’idz berarti peringatan tentang kebaikan yang menyebabkan hati menjadi
tunduk.[9]
Di dalam
al-Qur’an, kata al-wa’dz diulang sebanyak 25 kali dengan berbagai pengertian
sebagai berikut:
Artinya
“Mereka menjawab, “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi
nasihat atau tidak memberi nasihat.” (Q.S. al-Syu’ara, 26:136)
Artinya
“Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman, 31:13)
Artinya
“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) allah
mengetahui apa yang ada didalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang
membekas pada jiwanya.” (Q.S. al-Nisa, 4:63)
Artinya
“janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu,
yaitu al-Kitab dan al-Hikmah, Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
telah dikaruniakan-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Baqarah, 2:231)
Dalam kedudukan
sebagai al-muwa’idz, maka seorang guru berperan sebagai orang yang dapat
memberikan nasihat kepada siswanya, agar mereka terhindar dari berbuat yang
keji dan munkar. Nasihatnya harus berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah dengan
tujuan untuk melunakkan hati-hati anak didiknya, sehingga mereka menjadi
manusia yang terpelihara dari berbagai perbuatan yang dapat merusak pada masa
depannya. [10]
Kedelapan, Ulu
al-nuha. Dalam al-Qur’an kata tersebut disebut sebanyak 4 kali dan banyak
dihubungkan dengan perintah Tuhan kepada manusia, agar memohon, menikmati, dan
berjalan di muka bumi dengan tujuan agar semakin merasakan betapa besarnya
karunia Tuhan dan ia dapat menangkap pesan yang terkandung didalamnya. [11]
Seperti di dalam
Q.S. Thaha ayat 54 dan 128
Artinya
“Makanlah dan gembalakanlah hewan-hewanmu. Sungguh, pada yang
demikian itu, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (Q.S.
Thaha, 20:54)
Artinya
“Maka tidaklah menjadi petunjuk bagi mereka (orang-orang musryk)
berapa banyak generasi sebelum mereka yang telah kami binasakan, padahal mereka
melewati (bekas-bekas) tempat tinggal mereka (umat-umat itu)? Sungguh, pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kukuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S. Thaha,
20:128).
B. Kedudukan, Tugas, Syarat, dan Sifat Guru dalam Islam
A. Pengertian dan Kedudukan Pendidik
Dari segi bahasa,
pendidik, sebagaimana dijelaskan oleh WJS. Poerwadarminta adalah orang yang
mendidik. [12]
pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan
kegiatan dalam bidang mendidik. Kata pendidik secara fungsional menunjukan
kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan,
pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa
siapa saja dan dimana saja berada.
Dalam Al-Qur’an
tidak ditemukan kata al-tarbiyah, namun terdapat istilah lain seakar
dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, murabby, yurbiy, dan rabbany.
Sedangkan dalam hadist hanya ditemukan kata rabbany. Menurut Abdul Mujib
masing-masing tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan makna walaupun dalam
konteks tertentu memiliki perbedaan.[13]
Adapun pengertian
pendidik menurut istilah yang laim digunakan di masyarakat telah dikemukakan
oleh para ahli pendidikan. Ahmad Tafsir, misalnya mengatakan bahwa pendidik
dalam islam, sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan anak didik. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa dalam
Islam, orang yang paling bertanggung jawab itu adalah kedua orang tua (ayah dan
ibu) anak didik. [14]
Selanjutnya dalam
beberapa literatur kependidikan pada umumnya, istilah pendidik sering diwakili
oleh guru. Tugas guru tesebut lebih lanjut dijelaskan oleh S. Nasution menjadi
tiga bagian yaitu :
·
Sebagai
orang yang mengkomunikasikan pengetahuan,
·
Guru
sebagai model,
·
Guru
juga sebagai model sebagai pribadi.
Selanjutnya, jika kita mencoba mengikuti petunjuk al-Qur’an, akan
dijumpai informasi, bahwa yang menjadi pendidik itu secara garis besarnya ada
empat, yaitu
·
Tuhan
Allah SWT menginginkan umat
di dunia menjadi baik dan hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
·
Nabi
Nabi SAW dikenal sebagai ahli dakwah juga dikenal sebagai guru atau
pendidik, namun Nabi selain menjadi guru juga sebagai murid. [15]
·
Kedua
orang tua (ayah dan ibu)
·
Orang
lain.
B. Guru dalam Pendidikan
Islam
Dalam bab ini
dibicarakan definisi guru dalam pendidikan islam. Pembicaraannya berkisar pada
pertanyaan siapa yang disebut guru dalam pendidikan islam. Dibicarakan juga
kedudukan guru dalam pandangan islam.
1.
Definisi
Guru dalam Pendidikan Islam
Sama
dengan teori barat, pendidik dalam islam ialah siapa saja yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam islam, orang yang paling
bertanggung jawab adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab
itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat,
karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia
ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua karena
kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan
perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga.[16]
Sama dengan dengan pendidikan barat
, tugas pendidik dalam pandangan islam secara umum ialah mendidik , yaitu
mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik , baik potensi psikomotor
, kognitif , maupun potensi afektif.potensi itu harus dikembangkan secara
imbang sampai ke tingkat setinggi mungkin , menurut ajaran islam . karena orang
tua adalah pendidik pertama dan utama , maka inilah tugas orang tua tersebut.
a)
Kedudukan
Guru dalam Pandangan Islam
Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam ialah
penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tinnginya
penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat dibawah kedudukan
nabi dan rasul. Mengapa demikian ? karena guru selalu terkait dengan ilmu
(pengetahuan); sedangkan islam sangat menghargai pengetahuan. [17] Penghargaan islam terhadap ilmu tergambar
dalam-antara lain- hadist-hadist yang artinya sebagai berikut, yang dikutip
dari buku Asama Fahmi (1979:165).
1.
tinta
ulama lebih berharga daripada darah syuhada
2.
orang
yang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadah, puasa, dan
menghabiskan malamnya untuk mengerjakan solat, bahkan melebihi kebaikan orang
yang berperang dijalan Allah
3.
apabila
meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam islam yang tidak dapat
diisi kecuali oleh seorang alim yang lain.
Kedudukan orang alim dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu
mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada
orang lain adalah suatu pengamalan yang paling dihargai oleh islam. Sebenarnya
tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu
sendiri. Islam memuliakan pengetahuan. Islam pasti memuliakan guru.[18]
Tingginya guru dalam Islam masih dapat disaksikan secara nyata pada
zaman sekarang. Itu dapat kita lihat terutama di pesantren-pesantren di
Indonesia.
b)
Tugas
Guru dalam Islam
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidik Islam – juga ahli
pendidikan Barat – telah sepakat bahwa tugas guru adalah mendidik. Mendidik adalah
tugas yang amat luas. Ag. Soejono (1982:62) merinci tugas pendidik termasuk
guru sebagai berikut;
1.
Wajib
menemukan pembawaan yang ada pada anak didik dengan berbagai cara seperti
observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket dan sebagainya.
2.
Berusaha
menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan
pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
3.
Memperlihatkan
kepada anak didik tugas seorang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai
bidang keahlian, ketrampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
4.
Mengadakan
evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan
dengan baik.
5.
Memberikan
bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam
mengembangkan potensinya.
Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan islam, tugas guru
ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan
tentang tugas guru yang dapat disebutkan di sini, yang diambil dari uraian
penulis Muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebagai berikut:
1.
Guru
harus mengetahui karakter murid (Al-Abrasyi, 1974:133)
2.
Guru
harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang
diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya (Al-Abrasyi, 1974:134).
3.
Guru
harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang
diajarkannya (Al-Abrasyi, 1974:144).
Tugas-tugas
guru yang diajarkan oleh penulis muslim ini dapat ditambahkan kepada
tugas-tugas guru yang dianjurkan oleh Soejono di atas.
c)
Syarat
Guru Dalam Pendidikan Islam
Soejono
(1982:63-65) menyatakan bahwa syarat guru adalah sebagai berikut:
1.
Tentang
umur, harus sudah sudah dewasa.
Tugas mendidik
adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang, jadi
menyangkut nasib seseorang.Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah
dewasa,anak-anak tidak dapat dimintai pertanggung jawaban.Di negara kita ,
seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau dia sudah kawin.
Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahu bagi laki-laki dan 18 tahun bagi
perempuan.
2.
Tentang
kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani.
Jasmani yang
tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan
anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila
berbahaya juga bila ia mendidik.
3.
Tentang
kemampuan mengajar , ia harus ahli.
Ini penting
sekali bagi pendidik , termasuk guru. Orang tua di rumah sebenarnya perlu
sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya itu
diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi
anak-anaknya di rumah.
4.
Harus
berkesusilaan dan berdidekasi tinggi.
Syarat ini amat
penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar.
Bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia sendiri tidak
baik. Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain
mengajar’dedikasi tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan mutu mengajar.
Syarat-syarat itu adalah syarat-syarat guru pada umumya.
Syarat-syarat itu dapat diterima dalam islam. Akan tetapi , mengenai syarat
pada butir dua , yaitu tantang kesehatan jasmani , Islam dapat menerima guru
yang cacat jasmani, tetapi sehat. Untuk guru di perguruan tinggi , misalnya ,
orang buta atau cacat jasmani lainnya dapat diterima sebagai tenaga pengajar
asal cacat itu tidak merintangi tugsnya dalam mengajar.
Menurut Munir Mursi (1977:97), tatkala membicarakan syarat guru
kuttab (semacam sekolah dasar di Indonesia), menyatakan syarat terpenting bagi
guru dalam Islam adalah syarat keagamaan. Dengan demikian, syarat guru dalam
Islam ialah sebagai berikut:
1.
Umur,
sudah harus dewasa.
2.
Kesehatan,
harus sehat jasmani dan rohani.
3.
Keahlian,
harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk
ilmu mengajar).
4.
Harus
berkepribadian muslim.
d)
Sifat
Guru dalam Pandangan Islam
Para penulis muslim ternyata membicarakan panjang lebar sifat
pendidik dan guru. Biasanya mereka membicarakannya bersama-sama atau bercampur
dengan pembicaraan tentang tugas dan syarat guru.
Al-Abrasyi (1974:131) menyebutkan bahwa guru dalam islam sebaiknya
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.
Zuhud:
tidak mengutamakan materi, mengajar dilakukan karena mencari keridaan Allah
2.
Bersih
tubuhnya: jadi, penampilan lahiriahnya menyenangkan
3.
Bersih
jiwanya: tidak mempunyai dosa besar
4.
Tidak
ria: ria akan menghilangkan keikhlasan
5.
Tidak
memendam rasa dengki dan iri hati
6.
Tidak
menyenangi permusuhan
7.
Ikhlas
dalam melaksanakan tugas
8.
Sesuai
perbuatan dengan perkataan
9.
Tidak
malu mengakui ketidaktahuan
10.
Bijaksana
11.
Tegas
dalam perkataan dan perbuatan, tetapi tidak kasar
12.
Rendah
hati (tidak sombong)
13.
Lemah
lembut
14.
Pemaaf
15.
Sabar,
tidak marah karena hal-hal kecil
16.
Berkepribadian
17.
Tidak
merasa rendah hati
18.
Bersifat
kebapakan (mampu mencintai murid seperti mencintai anak sendiri)
19.
Mengetahui
karakter murid, mencakup pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan pemikiran.[19]
Seorang
guru harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan mendapatkan materi
dalam tugasnya. Seorang guru memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlaq
yang buruk. Seorang guru harus ikhlas dan melaksanakan tugasnya. Seorang guru
juga harus bersifat pemaaf terhadap muridnya. Seorang guru harus dapat
menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru.
Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-muridnya. Seorang
guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya.[20]
hasan fahmi (1979:167-169) mengajukan
mengajukan beberapa sifat guru yang pada hakikatnya tidak berbeda dari
sifat-sifat guru yag dikehendaki Al-Abrasyi di atas. Mahmud Junus (1966:113)
menyatakan bahwa Ibnu Sina mengajukan bebrapa sifat lain belum terlihat secara
eksplisit dalam sifat-sifat tadi:
1.
Tenang
2.
Tidak
bermuka asam
3.
Tidak
berolok-olok di hadapan anak didik
4.
Sopan
santun
Sementara
itu Mahmud Junus (1966:114) mengkhendaki sifat-sifat guru Muslim sebagai
berikut :
1.
Menyayangi
muridnya dan memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak
sendiri
2.
Hendaklah
guru memberi nasihat kepada muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu
tingkat sebelum berhak mendudukinya
3.
Hendaklah
guru memperingatkan muridnya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, bukan untuk jadi pejabat, untuk bemegah-megah, atau untuk
bersaing.
4.
Hendaklah
guru melarang muridnya berkelakuan tidak baik dengan cara lemah lembut, bukan
dengan cara mencaci maki.
5.
Hendaklah
guru mengajarkan kepada murid-muridnya mula-mula bahan pelajaran yang mudah dan
banyak terjadi di dalam masyarakat.
6.
Tidak
boleh guru merendahkan pelajaran lain yang tidk diajarkannya.
7.
Hendaklah
guru mengajarkan masalah yang sesuai dengan kemampuan murid.
8.
Hendaklah
guru mendidik muridnya supaya berfikir dan berijtihad, bukan semata-mata
menerima apa yang diajarkan guru.
9.
Hendaklah
guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya berbeda dengan perbuatannya.
10.
Hendaklah
guru memberlakukan semua muridnya dengan cara adil, jangan membedakan murid
atas dasar kekayaan dan kedudukan.[21]
KESIMPULAN
Para guru dipandang sebagai faktor
yang sangat penting menentukan berlangsungnya kegiatan pendidikan dan
pengajaran. Nana Sodik mengatakan, bahwa tanpa adanya kurikulum, ruang kelas
dan lainnya, kegiatan pendidikan akan tetap berjalan apabila ada guru yang
bertugas sebagai pendidik dan pengajar.
Jadi perspektif
al-Qur’an tentang pendidik dijelaskan pada beberapa ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah guru yang kemudian dianalisa dengan pandangan para ahli
pendidik. Kita misalnya menjumpai istilah ulama (Q.S Al-Syu’ara, 26:197;
Fatir 35:28); (Q.S Ali Imran 3:7; Al-nisa, 4:162); ahl-Dzikr, (Q.S al-Nahl,
16:43); al-Murabbi (Q.S al-Fatihah 1:2); al-Mudzakki (Q.S al-Baqarah, 2:151,
129, 174; ali-Imran, 3:77 dan 164; al-Jumu’ah. 62:2 dan Thaha 2); Ulul al-Bab,
(Q.S Ali-Imran 3:190); Muwa’idz (Q.S al-Syu’ara, 26:136; Luqman 31:13; al-Nisa,
4:63; al-Baqarah, 2:231); Uli al-Nuha (Q.S Thaha, 20:54 dan 128). Dan terdapat
kedudukan, tugas, syarat, dan sifat guru dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT.
Remaja Rosdakarya,1991.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu,1997.
Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin Jakarta Press,2005.
Prof. Dr. H.M. Asy’ari,M.Ag, konsep pendidikan islam:
implementasinya dalam tradisi klasik dan propagasi modern, Jakarta
Selatan:Rabbani Press, 2011.
Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2002.
[1] Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin
Jakarta Press,2005, h.127.
[2] Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin
Jakarta Press,2005, h.131.
[3] Ibid.,
[4] Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin
Jakarta Press,2005, h.134.
[5] Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin
Jakarta Press,2005, h.138.
[6] Ibid.,
[7] Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin
Jakarta Press,2005, h.141.
[8] Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin
Jakarta Press,2005, h.145.
[9] Ibid.,
[10] Nata, Abuddin, Pendidikan
dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta:Uin
Jakarta Press,2005, h.148.
[11] Prof. Dr. H.M. Asy’ari,M.Ag, konsep
pendidikan islam: implementasinya dalam tradisi klasik dan propagasi modern, Jakarta
Selatan:Rabbani Press, 2011, h.97.
[12] Nata, Abuddin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, h.61.
[13] Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2002, h.14.
[14] Nata, Abuddin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, h.62.
[15] Prof. Dr. H.M. Asy’ari,M.Ag, konsep
pendidikan islam: implementasinya dalam tradisi klasik dan propagasi modern, Jakarta
Selatan:Rabbani Press, 2011, h.92.
[16] Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991,
h.74.
[17] Ibid., h. 76.
[18] Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991, h.
76.
[19] Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991, h.
83.
[20] Nata, Abuddin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, h. 71.
[21] Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991, h.
84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar