Rabu, 20 November 2013

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIK

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG PENDIDIK
TAFSIR 2
Dosen Pengampu
Ervan Nurtawab, M.A
Nip:198011042009011008









Oleh:
Kelompok 6:
Kelas E
1.       Khoirul Isnani                      (1283551)
2.      Sobirin                                    (1284701)
3.      Toni Yusuf Permadi                         (1284961)


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
Th. 2013
 


PEMBAHASAN

A.    Istilah Al-Quran Untuk Pendidik
1. Ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Guru
          Para guru dipandang sebagai faktor yang sangat penting menentukan berlangsungnya kegiatan pendidikan dan pengajaran. Nana Sodik mengatakan, bahwa tanpa adanya kurikulum, ruang kelas dan lainnya, kegiatan pendidikan akan tetap berjalan apabila ada guru yang bertugas sebagai pendidik dan pengajar.[1]
          Dalam ini, kita akan mengkaji ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah guru yang kemudian dianalisa dengan pandangan para ahli pendidik. Kita misalnya menjumpai istilah ulama (Q.S Al-Syu’ara, 26:197; Fatir 35:28); (Q.S Ali Imran 3:7; Al-nisa, 4:162); ahl-Dzikr, (Q.S al-Nahl, 16:43); al-Murabbi (Q.S al-Fatihah 1:2); al-Mudzakki (Q.S al-Baqarah, 2:151, 129, 174; ali-Imran, 3:77 dan 164; al-Jumu’ah. 62:2 dan Thaha 2); Ulul al-Bab, (Q.S Ali-Imran 3:190); Muwa’idz (Q.S al-Syu’ara, 26:136; Luqman 31:13; al-Nisa, 4:63; al-Baqarah, 2:231); Uli al-Nuha (Q.S Thaha, 20:54 dan 128) beberapa istilah ini lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut.
          Pertama, istilah ulama. Istilah ulama adalah bentuk jamak (plural) dari kata alim yang menunjukan pada seseorang yang memiliki pengetahuan diatas rata-rata kemampuan yang dimiliki orang lain. Kata ulama dan alim selanjutnya diartikan sebagai orang yang tahu, atau orang yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealaman yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT.
          Di dalam al-Quran kata ulama ditemukan pada dua tempat. Pertama, dalam surat Fathir ayat 28 yang berbunyi:
Artinya:
“sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”
          Jika ayat ini dihubungkan dengan ayat sebelumnya (ayat 27) pengertian ulama pada ayat tersebut adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan ilmu kealaman atau ilmu kauniyah.
Kedua, dalam surat al-Syu’ara ayat 196 dan 197 yang berbunyi:
Artinya:
“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Isra’il mengetahuinya?”.
          Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ulama adalah orang yang mengetahui tentang kealaman dan ilmu agama dan pengetahuan yang dimilikinya itu dipergunakan untuk mengantarkannya pada rasa khasyyah kepada Allah SWT.
          Pada masa al-khulafa al-rasyidin (empat khalifah yang jujur) tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki pengetahuan agama, ilmu pengetahuan kealaman, dan pemimpin politik praktis. Baru pada masa pemerintahan bani umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi. Sementara itu orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama, tetapi disebut ahli dalam bidangnya masing-masing. Ahli filsafat juga tidak disebut ulama. Mereka disebut falaisuf (filosof) atau hukama (orang-orang yang memiliki kebijaksanaan).
Di Indonesia, istilah ulama atau alim ulama yang semula dimaksudkan sebagai bentuk jamak, berubah pengertiannya menjadi bentuk tunggal. Pengertian ulama juga menjadi lebih sempit, karena diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan ilmu keagamaan dalam bidang fikih saja. Di Indonesia, ulama identik dengan fukaha bahkan dalam pengertian awam sehari-hari, ulama adalah fukaha dalam bidang ibadah saja. Selanjutnya masyarakat islam, menilai ulama sebagai pendukung utama ajaran agama, yang memberikan nasehat dan contoh kehidupannya dianggap sebagai panutan. Dengan demikian ulama Indonesia adalah orang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam menginterpretasikan ajaran dan praktek tentang islam. Masyarakat memilih ulama untuk dijadikan panutan, karena mereka diakui sebagai yang memiliki kualitas dalam memahami agama. [2]
          Selanjutnya Imam al-Syathibi, berpendapat bahwa ulama atau mufti bagi masyarakat islam sama kedudukannya setelah Nabi.[3] Dalam melaksanakan fungsinya memberikan fatwa, maka seorang ulama pada dasarnya adalah seorang mujtahid yang perlu memiliki berbagai persyaratan sebagai berikut.
1.      Mengetahui lima ratus ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum. Kemampuan menghafal terhadap ayat-ayat tersebut tidak disyaratkan.
2.      Mengetahui cara memperoleh akses terhadap kitab-kitab hadits; ia harus memiliki koleksi hadits Abu Dawud atau Baihaqi, dan tidak mesti menghafalnya.
3.      Mengetahui hakikat tentang praktek furu’iyyah dan hal-hal penting yang berkaitan dengan ijma, dengan demikina ia tidak boleh menyimpang dari hukum islam yang telah ditetapkan ijma.
4.      Mengetahui metode yang berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang diambil dari teks.
5.      Mengetahui bahasa arab, menguasai secara mendalam bahasa arab secara komplit tidak dibutuhkan.
6.      Mengetahui tentang peraturan yang berkaitan dengan ketentuan nasakh dan mansukh.
7.      Menguasai cara menentukan hadits.

Maka yang dimaksud dengan ulama menurut al-Qur’an adalah seorang muslim yang selain menguasai ilmu agama Islam yang bersumber pada wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an (ayat qouliah) dan al-Sunnah, juga menguasai ilmu pengetahuan umum yang bersumber pada ayat kauniyah. Dengan mengusai ilmu agaa dan ilmu umum secara mendalam tersebut ia kemudian memiliki rasa takut (takwa) kepada Allah.
            Dengan demikian, seorang guru dalam pandangan al-Quran adalah seseorang yang memainkan peran sebagai ulama sebagaimana tersebut. Yaitu seseorang yang mendalam ilmu agama dan ilmu umumnya secara seimbang, kemudian mengajarkan ilmunya tersebut kepada umat manusia atas dasar panggilan agama serta rasa takut kepada Allah SWT. Dengan memainkan peran sebagai seorang ulama, seorang guru akan tampil sebagai orang yang mengemban amanah suci dari Allah SWT, serta bertindak sebagai pewaris Nabi.
            Kedua, al-rasikhuna fi al-ilm. Kata al-raisikhuna berasal dari kata rasakha, yarsukhu, rusukhan yang berarti tetap dan lekat, dan al-rasikhu berarti orang yang tetap dan orang yang lekat.[4] Pemahaman tentang al-rasikhuna fi al-ilm di dalam al-Qur’an lebih lanjut dapat dipahami dari ayat yang berbunyi :
Artinya:
“Dia-lah yang menurunkan kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Diantara (isiny)a ada ayat-ayat yang muhkamat , itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)  melainkan orang-orang yang berakal.” (Q.S. Ali Imran, 3:7)
            Berdasarkan ayat tersebut orang yang al-rasikhuna fi al-ilm adalah orang yang mendalam ilmunya sehingga ia tidak hanya dapat memahami ayat-ayat yang jelas dan terang maksudnya (ayat muhkamat), juga memahami ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian (interpretable). Selain itu juga dapat menguasai pemahaman ayat berdasarkan ta’wil, memiliki iman yang mendalam, memiliki kecerdasan diatas rata-rata, sehingga ia dapat menangkap makna (pelajaran) dari setiap peristiwa.
            Ketiga, istilah ahl Dzikr. Kata ahl Dzikr dijumpai pada surat al-Nahl, 16:43
Artinya
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”.
            Didalam Tafsir al-Maraghiy jilid V, Iman al-Maraghiy menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “yang dimaksud dengan ahl Dzikr adalah ahl al-kitab sebagaimana dinyatakan dalam ayat walalaq katabna fi al-dzabur min ba’di al-Dzikr (sesungguhnya telh Kami tetapkan dalam kitab al-dzabur setelah al-Dzikr), yakni Taurat, dan keterangan, yakni mu’jizat yang menunjukan atas kebenaran Rasul,  sedangkan al-dzabut mufradnya adalah al-dzubur, yaitu kitab-kitab yang ajaran agama dan perintah yang disampaikan oleh para Rasul kepada hamba-hamba-Nya; dan yang dimaksud dengan al-dzikr adalah al-Qur’an, untuk menjelaskan kepada manusia, yakni untuk menjelaskan kepada mereka apa yang tersembunyi dari kandungan ajaran agama”.[5]
            Guru dalam perannya sebagai ahli al-dzikr selain berfungsi sebagai orang yang mengingatkan para siswa dari berbuat yang melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya, juga adalah seseorang yang mendalami ajaran-ajaran yang berasal dari Tuhan yang terdapat dalam berbagai kitab yang pernah diturunkan-Nya kepada para Nabi dan Rasul-Nya dari sejak dahulu kala hingga sekarang. Sebagai ahli al-Dizkr ia dapat mencari titik persamaan antara ajaran-ajaran yang terdapat di dalam berbagai kitab tersebut untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat , istilah al-murabbi. Kata al-Murabbi berasal dari kata ar-rabb yang secara harfiah berarti insyau al-sya’i balan fabalan ila hazd al-tamam, yakni mengembangkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai tingkat kesempurnaan.[6] Seorang murabbi adalah orang yang mengembangkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai tingkat kesempurnaan itu. Kata al-murabbi, lebih lanjut dapat dipahami dari kata-kata rabb yang terdapat pada beberapa ayat sebagai berikut.
Artinya:
Segala puji bagi ALLAH , Tuhan semesta alam. (Q.S al-Ftihah, 1:2)
Kata rabb (al-murabbi) sebagaimana terdapat di dalam ayat tersebut dijelaskan oleh Imam al-Maaraghi sebagai berikut : “ bahwa yang dimaksud dengan al-rabb adalah al-sayyid (tuan) al-Murabbi, yaitu orang yang memelihara, mengajar yang dibimbingnya dan diatur tingkah lakunya. Pendidikan ALLAH terhadap manusia terbagi dua, yaitu pendidikan kejadian fisiknya yang dilakukan dengan menumbuhkan fisiknya sehingga menjadi tegar dan kuat serta mengembangkan kekutan jiwanya dan akal pikirannya; serta pendidikan keagamaan dan akhlak yang diarahkan pada pembinaan kepribadiannya agar dengan demikian menjadi sempurna akal pikirannya dan bersih jiwanya, dan bukan dtujukan pada yang lainnya yang memungkinkan manusia beribadah, dan bukan pula dimaksudkan untuk menghalalkan sesuatu dan mengharamkan yang lain, kecuali dengan izin-Nya. Kata rabb juga dipergunakan untuk manusia seperti pada ucapan rabb al-dar wa rabb badzibi al-an’am (pemelihara rumah dan pemelihara berbagai ni’mat ini) sebagaimana terdapat pada hikayat Yusuf semoga Allah merahmatinya pada yang mengurusnya yakni yang Mulia Penguasa Mesir dengan ucapan Innahu rabby maswaya (sesungguhnya ia adalah pemeliharaku dengan pemeliharaan yang baik).
Kelima, istilah al-Muzakki. Kata al-Muzakki berasal dari kata zakka, yuzakki, tazkiyatan yang berarti menyucikan atau membayarkan zakat. Yang melakukan tugas membersihkan dan mensucikan diri adalah Allah dan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian Allah dan Rasul-Nya di sebut al-Muzakki. Selanjutnya karena Allah dan Nabi Muhammad SAW terkadang tampil sebagai guru, maka Nabi Muhammad SAW adalah sebagai al-Muzakki.[7]
Kata-kata al-Muzakki lebih lanjut dapat dipahami dari ayat-ayat sebagai berikut:
Artinya
“sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu yang belum kamu ketahui”. (Q.S. al-Baqarah, 2:151)

Artinya
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Baqarah, 2:192)

Artinya
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) kedalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih”. (Q.S. al-Baqarah, 2:174)
Artinya
Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harta yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akherat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula mensucikan mereka). Bagi mereka azab yang pedih.” (Q.S ali-Imran, 3:77).

Artinya
Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Jumu’ah, 62:2).


Artinya
Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (Q.S. Thaha, 20:2)

            Keenam, sebagai ulul al-bab, maka seseorang guru adalah sesungguhnya orang yang senantiasa menggunakan akalnya untuk memikirkan dan menganalisa berbagai ajaran yang berasal dari Tuhan, peristiwa yang terjadi disekitarnya untuk di ambil makna dan ajaran yang terdapat didalamnya. Seorang guru adalah seorang yang tercerahkan, memiliki inside yang kuat terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat.[8]
Seperti dalam yang terdapat di dalam al-Qur’an pada surat ali -Imran ayat 190:

Artinya
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang berakal”. (Q.S. ali-Imran, 3:190)
            Ketujuh, al-muwa’idz. Kata al-muwa’idz berasal dari kata al-wa’dz yang secara harfiah berarti jazr muqtarinun bi takhwif. Qala al-Khalil, huwa al-tadzkir bi al-khair fima yariqqu lahu al-qalb, yang artinya peringatan yang disertai menakut-nakuti. Sedangkan menurut al-Khalil, bahwa al-wa’idz berarti peringatan tentang kebaikan yang menyebabkan hati menjadi tunduk.[9]
            Di dalam al-Qur’an, kata al-wa’dz diulang sebanyak 25 kali dengan berbagai pengertian sebagai berikut:
Artinya
“Mereka menjawab, “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasihat atau tidak memberi nasihat.” (Q.S. al-Syu’ara, 26:136)


Artinya
“Dan (ingatlah)          ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman, 31:13)
Artinya
Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) allah mengetahui apa yang ada didalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (Q.S. al-Nisa, 4:63)
Artinya
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah ni’mat Allah padamu, dan apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah, Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang telah dikaruniakan-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Baqarah, 2:231)
          Dalam kedudukan sebagai al-muwa’idz, maka seorang guru berperan sebagai orang yang dapat memberikan nasihat kepada siswanya, agar mereka terhindar dari berbuat yang keji dan munkar. Nasihatnya harus berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah dengan tujuan untuk melunakkan hati-hati anak didiknya, sehingga mereka menjadi manusia yang terpelihara dari berbagai perbuatan yang dapat merusak pada masa depannya. [10]

          Kedelapan, Ulu al-nuha. Dalam al-Qur’an kata tersebut disebut sebanyak 4 kali dan banyak dihubungkan dengan perintah Tuhan kepada manusia, agar memohon, menikmati, dan berjalan di muka bumi dengan tujuan agar semakin merasakan betapa besarnya karunia Tuhan dan ia dapat menangkap pesan yang terkandung didalamnya. [11]
          Seperti di dalam Q.S. Thaha ayat 54 dan 128
Artinya
Makanlah dan gembalakanlah hewan-hewanmu. Sungguh, pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (Q.S. Thaha, 20:54)
Artinya
Maka tidaklah menjadi petunjuk bagi mereka (orang-orang musryk) berapa banyak generasi sebelum mereka yang telah kami binasakan, padahal mereka melewati (bekas-bekas) tempat tinggal mereka (umat-umat itu)?  Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kukuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S. Thaha, 20:128).



B. Kedudukan, Tugas, Syarat, dan Sifat Guru dalam Islam
A. Pengertian dan Kedudukan Pendidik
            Dari segi bahasa, pendidik, sebagaimana dijelaskan oleh WJS. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik. [12] pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Kata pendidik secara fungsional menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan ini bisa siapa saja dan dimana saja berada.
            Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata al-tarbiyah, namun terdapat istilah lain seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, murabby, yurbiy, dan rabbany. Sedangkan dalam hadist hanya ditemukan kata rabbany. Menurut Abdul Mujib masing-masing tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan makna walaupun dalam konteks tertentu memiliki perbedaan.[13]
            Adapun pengertian pendidik menurut istilah yang laim digunakan di masyarakat telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Ahmad Tafsir, misalnya mengatakan bahwa pendidik dalam islam, sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab itu adalah kedua orang tua (ayah dan ibu) anak didik. [14]
            Selanjutnya dalam beberapa literatur kependidikan pada umumnya, istilah pendidik sering diwakili oleh guru. Tugas guru tesebut lebih lanjut dijelaskan oleh S. Nasution menjadi tiga bagian yaitu :
·         Sebagai orang yang mengkomunikasikan pengetahuan,
·         Guru sebagai model,
·         Guru juga sebagai model sebagai pribadi.
Selanjutnya, jika kita mencoba mengikuti petunjuk al-Qur’an, akan dijumpai informasi, bahwa yang menjadi pendidik itu secara garis besarnya ada empat, yaitu
·         Tuhan
 Allah SWT menginginkan umat di dunia menjadi baik dan hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
·         Nabi
Nabi SAW dikenal sebagai ahli dakwah juga dikenal sebagai guru atau pendidik, namun Nabi selain menjadi guru juga sebagai murid. [15]
·         Kedua orang tua (ayah dan ibu)
·         Orang lain.

B.  Guru dalam Pendidikan Islam
          Dalam bab ini dibicarakan definisi guru dalam pendidikan islam. Pembicaraannya berkisar pada pertanyaan siapa yang disebut guru dalam pendidikan islam. Dibicarakan juga kedudukan guru dalam pandangan islam.
1.      Definisi Guru dalam Pendidikan Islam
Sama dengan teori barat, pendidik dalam islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam islam, orang yang paling bertanggung jawab adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal: pertama karena kodrat, karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya; kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tuanya juga.[16]
Sama dengan dengan pendidikan barat , tugas pendidik dalam pandangan islam secara umum ialah mendidik , yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik , baik potensi psikomotor , kognitif , maupun potensi afektif.potensi itu harus dikembangkan secara imbang sampai ke tingkat setinggi mungkin , menurut ajaran islam . karena orang tua adalah pendidik pertama dan utama , maka inilah tugas orang tua tersebut.

a)      Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam
Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tinnginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat dibawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian ? karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan); sedangkan islam sangat menghargai pengetahuan. [17]  Penghargaan islam terhadap ilmu tergambar dalam-antara lain- hadist-hadist yang artinya sebagai berikut, yang dikutip dari buku Asama Fahmi (1979:165).
1.      tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada
2.      orang yang berpengetahuan melebihi orang yang senang beribadah, puasa, dan menghabiskan malamnya untuk mengerjakan solat, bahkan melebihi kebaikan orang yang berperang dijalan Allah
3.      apabila meninggal seorang alim, maka terjadilah kekosongan dalam islam yang tidak dapat diisi kecuali oleh seorang alim yang lain.
Kedudukan orang alim dalam Islam dihargai tinggi bila orang itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkan ilmu itu kepada orang lain adalah suatu pengamalan yang paling dihargai oleh islam. Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan. Islam pasti memuliakan guru.[18]
Tingginya guru dalam Islam masih dapat disaksikan secara nyata pada zaman sekarang. Itu dapat kita lihat terutama di pesantren-pesantren di Indonesia.
b)     Tugas Guru dalam Islam
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidik Islam – juga ahli pendidikan Barat – telah sepakat bahwa tugas guru adalah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Ag. Soejono (1982:62) merinci tugas pendidik termasuk guru sebagai berikut;
1.      Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket dan sebagainya.
2.      Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.
3.      Memperlihatkan kepada anak didik tugas seorang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, ketrampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat.
4.      Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.
5.      Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.
Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernyataan tentang tugas guru yang dapat disebutkan di sini, yang diambil dari uraian penulis Muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebagai berikut:
1.      Guru harus mengetahui karakter murid (Al-Abrasyi, 1974:133)
2.      Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya (Al-Abrasyi, 1974:134).
3.      Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya (Al-Abrasyi, 1974:144).
Tugas-tugas guru yang diajarkan oleh penulis muslim ini dapat ditambahkan kepada tugas-tugas guru yang dianjurkan oleh Soejono di atas.
c)      Syarat Guru Dalam Pendidikan Islam
Soejono (1982:63-65) menyatakan bahwa syarat guru adalah sebagai berikut:
1.      Tentang umur, harus sudah sudah dewasa.
Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang, jadi menyangkut nasib seseorang.Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa,anak-anak tidak dapat dimintai pertanggung jawaban.Di negara kita , seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau dia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahu bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan.
2.      Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani.
Jasmani yang tidak sehat akan menghambat pelaksanaan pendidikan, bahkan dapat membahayakan anak didik bila mempunyai penyakit menular. Dari segi rohani, orang gila berbahaya juga bila ia mendidik.
3.      Tentang kemampuan mengajar , ia harus ahli.
Ini penting sekali bagi pendidik , termasuk guru. Orang tua di rumah sebenarnya perlu sekali mempelajari teori-teori ilmu pendidikan. Dengan pengetahuannya itu diharapkan ia akan lebih berkemampuan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.
4.      Harus berkesusilaan dan berdidekasi tinggi.
Syarat ini amat penting dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar. Bagaimana guru akan memberikan contoh-contoh kebaikan bila ia sendiri tidak baik. Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain mengajar’dedikasi tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan mutu mengajar.
Syarat-syarat itu adalah syarat-syarat guru pada umumya. Syarat-syarat itu dapat diterima dalam islam. Akan tetapi , mengenai syarat pada butir dua , yaitu tantang kesehatan jasmani , Islam dapat menerima guru yang cacat jasmani, tetapi sehat. Untuk guru di perguruan tinggi , misalnya , orang buta atau cacat jasmani lainnya dapat diterima sebagai tenaga pengajar asal cacat itu tidak merintangi tugsnya dalam mengajar.
Menurut Munir Mursi (1977:97), tatkala membicarakan syarat guru kuttab (semacam sekolah dasar di Indonesia), menyatakan syarat terpenting bagi guru dalam Islam adalah syarat keagamaan. Dengan demikian, syarat guru dalam Islam ialah sebagai berikut:
1.      Umur, sudah harus dewasa.
2.      Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani.
3.      Keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar).
4.      Harus berkepribadian muslim.

d)     Sifat Guru dalam Pandangan Islam
Para penulis muslim ternyata membicarakan panjang lebar sifat pendidik dan guru. Biasanya mereka membicarakannya bersama-sama atau bercampur dengan pembicaraan tentang tugas dan syarat guru.
Al-Abrasyi (1974:131) menyebutkan bahwa guru dalam islam sebaiknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.      Zuhud: tidak mengutamakan materi, mengajar dilakukan karena mencari keridaan Allah
2.      Bersih tubuhnya: jadi, penampilan lahiriahnya menyenangkan
3.      Bersih jiwanya: tidak mempunyai dosa besar
4.      Tidak ria: ria akan menghilangkan keikhlasan
5.      Tidak memendam rasa dengki dan iri hati
6.      Tidak menyenangi permusuhan
7.      Ikhlas dalam melaksanakan tugas
8.      Sesuai perbuatan dengan perkataan
9.      Tidak malu mengakui ketidaktahuan
10.  Bijaksana
11.  Tegas dalam perkataan dan perbuatan, tetapi tidak kasar
12.  Rendah hati (tidak sombong)
13.  Lemah lembut
14.  Pemaaf
15.  Sabar, tidak marah karena hal-hal kecil
16.  Berkepribadian
17.  Tidak merasa rendah hati
18.  Bersifat kebapakan (mampu mencintai murid seperti mencintai anak sendiri)
19.  Mengetahui karakter murid, mencakup pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan pemikiran.[19]

Seorang guru harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan mendapatkan materi dalam tugasnya. Seorang guru memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlaq yang buruk. Seorang guru harus ikhlas dan melaksanakan tugasnya. Seorang guru juga harus bersifat pemaaf terhadap muridnya. Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru. Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat, dan watak murid-muridnya. Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya.[20]
 hasan fahmi (1979:167-169) mengajukan mengajukan beberapa sifat guru yang pada hakikatnya tidak berbeda dari sifat-sifat guru yag dikehendaki Al-Abrasyi di atas. Mahmud Junus (1966:113) menyatakan bahwa Ibnu Sina mengajukan bebrapa sifat lain belum terlihat secara eksplisit dalam sifat-sifat tadi:
1.      Tenang
2.      Tidak bermuka asam
3.      Tidak berolok-olok di hadapan anak didik
4.      Sopan santun
Sementara itu Mahmud Junus (1966:114) mengkhendaki sifat-sifat guru Muslim sebagai berikut :
1.      Menyayangi muridnya dan memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri
2.      Hendaklah guru memberi nasihat kepada muridnya seperti melarang mereka menduduki suatu tingkat sebelum berhak mendudukinya
3.      Hendaklah guru memperingatkan muridnya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk jadi pejabat, untuk bemegah-megah, atau untuk bersaing.
4.      Hendaklah guru melarang muridnya berkelakuan tidak baik dengan cara lemah lembut, bukan dengan cara mencaci maki.
5.      Hendaklah guru mengajarkan kepada murid-muridnya mula-mula bahan pelajaran yang mudah dan banyak terjadi di dalam masyarakat.
6.      Tidak boleh guru merendahkan pelajaran lain yang tidk diajarkannya.
7.      Hendaklah guru mengajarkan masalah yang sesuai dengan kemampuan murid.
8.      Hendaklah guru mendidik muridnya supaya berfikir dan berijtihad, bukan semata-mata menerima apa yang diajarkan guru.
9.      Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya berbeda dengan perbuatannya.
10.  Hendaklah guru memberlakukan semua muridnya dengan cara adil, jangan membedakan murid atas dasar kekayaan dan kedudukan.[21]









































KESIMPULAN

Para guru dipandang sebagai faktor yang sangat penting menentukan berlangsungnya kegiatan pendidikan dan pengajaran. Nana Sodik mengatakan, bahwa tanpa adanya kurikulum, ruang kelas dan lainnya, kegiatan pendidikan akan tetap berjalan apabila ada guru yang bertugas sebagai pendidik dan pengajar.
          Jadi perspektif al-Qur’an tentang pendidik dijelaskan pada beberapa ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah guru yang kemudian dianalisa dengan pandangan para ahli pendidik. Kita misalnya menjumpai istilah ulama (Q.S Al-Syu’ara, 26:197; Fatir 35:28); (Q.S Ali Imran 3:7; Al-nisa, 4:162); ahl-Dzikr, (Q.S al-Nahl, 16:43); al-Murabbi (Q.S al-Fatihah 1:2); al-Mudzakki (Q.S al-Baqarah, 2:151, 129, 174; ali-Imran, 3:77 dan 164; al-Jumu’ah. 62:2 dan Thaha 2); Ulul al-Bab, (Q.S Ali-Imran 3:190); Muwa’idz (Q.S al-Syu’ara, 26:136; Luqman 31:13; al-Nisa, 4:63; al-Baqarah, 2:231); Uli al-Nuha (Q.S Thaha, 20:54 dan 128). Dan terdapat kedudukan, tugas, syarat, dan sifat guru dalam Islam.

















DAFTAR PUSTAKA

Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991.

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.

Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005.
Prof. Dr. H.M. Asy’ari,M.Ag, konsep pendidikan islam: implementasinya dalam tradisi klasik dan propagasi modern, Jakarta Selatan:Rabbani Press, 2011.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2002.


[1]  Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005, h.127.
[2]  Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005, h.131.
[3]  Ibid.,
[4]  Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005, h.134.
[5]  Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005, h.138.
[6]  Ibid.,
[7]  Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005, h.141.
[8]  Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005, h.145.
[9]   Ibid.,
[10]  Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an,  Jakarta:Uin Jakarta Press,2005, h.148.
[11]  Prof. Dr. H.M. Asy’ari,M.Ag, konsep pendidikan islam: implementasinya dalam tradisi klasik dan propagasi modern, Jakarta Selatan:Rabbani Press, 2011, h.97.
[12]  Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, h.61.
[13]  Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2002, h.14.
[14]  Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, h.62.
[15]  Prof. Dr. H.M. Asy’ari,M.Ag, konsep pendidikan islam: implementasinya dalam tradisi klasik dan propagasi modern, Jakarta Selatan:Rabbani Press, 2011, h.92.
[16]  Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991, h.74.
[17]  Ibid., h. 76.
[18]  Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991, h. 76.
[19]  Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991, h. 83.
[20]  Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997, h. 71.
[21]  Dr. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya,1991, h. 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar