MAKALAH
FIQH 1
SYIRKAH, MUDHARABAH ATAU QIRADH, MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
Dosen Pengampu: Muhammad Ali, M.Pd.I
Kelompok Sembilan (9)
Disusun Oleh :
Nanda Ariezky (1284011)
Toni Yusuf Permadi (1284961)
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji
syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Syirkah,
Mudharabah Atau Qiradh, Musaqah, Muzara’ah Dan Mukhabarah” dengan tepat
waktu. Sholawat serta salam tak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumul kiamah.
Penulis menyadari didalam pembuatan makalah
ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan
rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak.
Muhammad Ali, M.Pd.I selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan kepada
kami dalam rangka penyelesaian makalah ini.
2. Kepada
orang tua yang memotivasi kami sehingga makalah ini terselesaikan.
3. Kepada
teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT,
maka penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih
banyak kekuarangan dan kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyajian materi.
Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan guna penyempurnaan dalam penyusunan dan penulisan tugas
kelompok ini dan tugas-tugas selanjutnya.
Metro,
07 Oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Masyarakat sejak dahulu tidak terlepas dari proses
jual-beli dan kerjasama dalam bidang perekonomian. Dalam ilmu fiqh terdapat
macam-macam kerjasama dalam perekonomian yang memang penting untuk di pelajari
untuk kemaslahatan masyarakat atau umat. Dan apabila akan ada beberapa orang yang
akan berserikat dalam kerjasama ini, maka tergantung ingin bekerjasama dengan
cara yang diinginkan dan sesuai dengan kemampuan individu masing-masing dan
ketentuan-ketentuannya.
Terdapat beberapa
bentuk kerjasama dalam pandangan Islam, yaitu kerjasama yang pertama yaitu
syirkah, yang kedua yaitu mudharabah atau qiradh, yang ketiga yaitu musaqah,
yang keempat yaitu muzara’ah dan mukhabarah.
Untuk mengetahui
kejelasan dari bentuk-bentuk atau macam-macam kerjasama diatas maka diperlukan
kajian yang seksama. Untuk itu, kami dari kelompok sembilan ingin memaparkan
beberapa penjelasan dari ulama-ulama fiqh.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana
pengertian/penjelasan Syirkah?
b.
Bagaimana
pengertian /penjelasan Mudharabah Atau Qiradh?
c.
Bagaimana
pengertian/penjelasan Musaqah?
d.
Bagaimana
pengertian/penjelasan Muzara’ah Dan Mukhabarah?
3.
Tujuan
Masalah
a.
Untuk
mengetahui pengertian/penjelasan Syirkah.
b.
Untuk
mengetahui pengertian/penjelasan Mudharabah atau Qiradh.
c.
Untuk
mengetahui pengertian/penjelasan Musaqah.
d.
Untuk
mengetahui pengertian/penjelasan Muzara’ah dan Mukhabarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SYIRKAH
a). Pengertian
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilah
yang artinya campur atau pencampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyadun.
Maksud pencampuran disini ialah seseprang mencampurkan hartanya dengan harta
orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.
Menurut istilah, yang dimaksud dengan
syirkah, para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:
1.
Sayyid
Sabiq,
Akad antara dua orang berserikat pada
pokok harta (modal) dan keuntungan.
2.
Muhammad
al-Syarbini al-Khatib
Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua
orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).
3.
Syihab
al-Din al-Qalyubi wa Umaira
Penetapan hak pada sesuatu bagi dua
orang atau lebih.
4.
Idris
Ahmad
Syirkah sama dengan syarikat dagang,
yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji dan akan bekerja sama dalam
dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, dimana keuntungan dan
kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
Setelah diketahui definisi syirkah menurut
para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan
kerugiannya di tanggung bersama. [1]
b).
Landasan Syirkah
1.
Al-Qur’an
Dalam Q.S. Shad
ayat 24
Artinya:
“sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang
yang beriman dan beramal soleh dan amat sedikitlah mereka ini”.
2.
As-Sunah
Adapun yang dijadikan
dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Abu
Dawud dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : “aku jadi ketiga
antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak berkhianat kepada yang
lainnya, apabila yang satu berkhianat, kepada pihak yang lain maka keluarlah
aku drinya”.
3.
Ijma’
Umat Islam sepakat
bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.[2]
c).
Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para
ulama, menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan
kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun yang lain
seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar pembahasan
akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan
syirkah menurut Hanafiyah menjadi empat bagian berikut ini :
1.
Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk syirksh baik dengan harta maupun yang
lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu a) yang berkenaan dengan benda
diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b) yang berkenaan
dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui
dua pihak.
2.
Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mal (harta), ada dua perkara yaitu, yaitu a) bahwa
modal yang dijadikan ojek adalah dari alat pembayaran, seperyi riyal, dan
rupiyah, b) yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan.
3.
Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan a) modal harus
sama, b) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada
semua macam jual beli atau perdagangan.
4.
Adapun
yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat syirkah mufawadhah.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh dan pintar.
Syafiiyah berpendapat bahwa syirkah yang
sah hukumnya hanyalah syirkah inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.
Dijelaskan pula oleh Abd. Al-Rahman
al-Jaziri bahwa rukun syirkah adalah dua orang yang berserikat sighat dan objek
akad syirkah baik harta maupun kerja.[3]
d) Pembagian
Pembagian terbagi atas dua macam yaitu
syirkah amlak (kepemilikan) dan ‘uqud (kontrak). Syirkah amlak adalah syirkah
yang bersifat memaksa dalam hukum positif, sedangkan syirkah uqud adalah yang
bersifat ikhtiyar (pilihan sendiri)
1.
Syirkah
Amlak
Syirkah
amlak adalah dua orang atau lebih yang miliki barang tanpa adanya akad. Syirkah
ini ada dua macam:
a)
Syirkah
sukarela (ikhtiyar)
Yang
muncul karena adanya konrtak dari dua orang yang bersekutu.
b)
Syirkah
paksaan (ijbar)
Syirkah
yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas
perbuatan keduanya , seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi
waris menjadi sekutu baginya.
2.
Syirkah
‘Uqud
Merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara
dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.
Menurut
ulama Hanabilah, dibagi menjadi lima, yaitu:
a)
Syirkah
‘inan
Persekutuan
antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang secara besama, dan membagi
laba atau kerugian bersama.
b)
Syirkah
muwafidhah
Transaksi
dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam
jumlah modal, penentuan keuntungan, pengolahan, serta agama yang dianut.
c)
Syirkah
abdan
Persekutuan
dua orang untuk menerima suatu pekerjaan yang akan dikerjakan secara
bersama-sama. Keuntungan dibagi dengan menetapkan persyaratan tertentu.
d)
Syirkah
wujuh
Bersekutunya
dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang
secara tidak kontan dan menjualnya secara kontan, dan keuntungan dibagi denhgan
syarat tertentu.
e)
Syirkah
mudharabah. [4]
e)
Syarat Syirkah
Syarat
Syirkah ‘Uqud
Menurut
ulama Hanafiyah, syarat syirkah ‘uqud dibagi atas dua macam ‘am (umum) dan
syarat khas (khusus).
Syarat
syirkah uqud:
a)
Dapat
dipandang sebagai perwakilan
b)
Ada
kejelasan dalam pembagian keuntungan
c)
Laba
merupakan bagian umum dari jumlah.[5]
Syarat
khas (khusus)
a)
Modal
syirkah harus ada dan jelas
b)
Modal
harus bernilai dan berharga secara mutlak
Syarat
Khusus Syirkah Mufadhilah
Ulama hanafiah menyebutkan beberapa
syarat:
a)
Setiap
aqid harus ahli dalam perwakilan dan jaminan, keduanya harus merdeka, baligh,
berakal dan dewasa.
b)
Ada
kesamaan modal dari segi ukuran, harga awal dan akhir.
c)
Apapun
yang pantas menjadi modal dari salah seorang yang bersekutu dimasukan dalam
perkongsian.
d)
Ada
kesamaan dalam berdagang.
e)
Pada
akad, harus menggunakan kata muwafidhah.
Persyaratan
diatas harus dipenuhi, jika salah satu tidak ada, perkongsian ini akan berubah
menjadi perkongsian inan.[6]
Syarat
Syirkah A’mal
Jika syirkah ini berbentuk muwafidhah,
harus memenuhi persyaratan muwafidhah diatas. Akan tetapi, jika syirkah ini
berbentuk ‘inan, hanya disyaratkan ahli dalam perwakilannya saja. [7]
Syarat
syirkah Wujuh
Apakah syirkah ini berbentuk muwafihah,
hendaklah yang bersekutu itu ahli dalam memberikan jaminan, dan masing-masing
harus memiliki setengah harga yang dibeli. Selain itu, keuntungan dibagi dua
dan ketika akad harus menggunakan kata muwafidhah.
Jika syirkah ini berbentuk ‘inan, tidak
disyaratkan harus memenuhi persyaratan diatas dan dibolehkan salah seorang aqid
melebihi yang lain. Hanya saja, keuntungan harus didasarkan pada kadar
tanggungan. Jika meminta lebih, akad batal. [8]
f)
Hukum Syirkah
1.
Hukum
Syirkah Uqud
Terbagi menjadi
dua yaitu shahih dan fasid, perkongsian dikatakan fasid (rusak) apabila tidak
memenuhi persyaratan yang disebutkan diatas. Adapun perkogsian shahih adalah
perkongsian yang memenuhi persyaratan kesahihannya.
·
Hukum
Syirkah ‘Inan Amwal
Ø Syarat pekerjaan
Dibolehkan
kedua orang yang berserikat untuk menetapkan persyaratan bekerja.
Ø Pembagian keuntungan
Pembagian
keuntungan bergantung pada besarnya modal.
Ø Harta syirkah rusak
Jika
terjadi kerusakan pada harta syirkah sebelum dibelanjakan, atau pada salah satu
harta sebelum di campurkan, syirkah batal. Hal ini karena yang ditransaksikan
dalam syirkah inan adalah harta.
Ø Pendayagunaan harta syirkah
Setiap
anggota berhak memperjual belikan harta syirkah, karena seseorang berserikat
memiliki dan memberikan iin rekannya untuk mendayagunakan harta mereka, juga
diperbolehkan berbelanja, baik secara kontan maupun ditangguhkan.[9]
·
Hukum
syirkah Muwafidhah dan Amwal
Segala sesuatu yang dibolehkan
ber-tasharruf dalam perkongsian ‘inan juga boleh dilakukan dalam perkongsian
muwafidhah. Segala persyaratan dalam syirkah ‘inan diharuskan pula dalam
syirkah muwafidhah. Hal ini karena syirkah mufawidhah pada hakikatnya adalah
syirkah ‘inan yang ditambah.[10]
·
Hukum
Syirkah Wujuh
Jika syirkah wujuh berbentuk syirkah
muwafidhah berarti berbagai hal yang berkaitan dengan jual beli harus sama
sebab mufawidhah melarang ketidaksamaan.
·
Hukum
Syirkah A’mal
Ø Berbentuk mufawidhah
Apabila
syirkah amal berbentuk mufawidhah, setiap yang bersekutu diwajibkan untuk
menanggung segala sesuatu yang berhubungan dengan syirkah.
Ø Berbentuk inan
Segi
kebaikan dari syirkah ini adalah dapat menuntut pekerjaan dari salah seorang
yang bersekutu, untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab bersama.
Ø Pembagian laba
Pembagian
laba pada syirkah ini bergantung pada tanggungan bukan pada pekerjaan.
Ø Penanggungan kerugian
Menanggung
kerugian pada syirkah juga bergantung pada jaminan yang mereka berikan. [11]
g) Sifat
Akad Perkongsian dan Kewenangan
1. Hukum kepastian Syirkah
Kebanyakan ulama fiqh
berpendapat bahwa akad syirkah dibolehkan tetapi tidak lazim. Oleh karena itu,
salah seorang yang bersekutu dibolehkan membatalkan akad atas sepengetahuan
rekannya untuk menghindari kemudaratan.
2.
Kewenangna
yang Berserikat
Para ahli fiqh sepakat
bahwa kewenangna syarik perkongsian adalah amanah, seperti dalam titipan,
karena memegang atau menyerahkan harta atas izin rekannya.[12]
h) Hal yang membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah dibagi
atas dua hal, yaitu:
1.
Pembatalan
Syirkah Secara Umum
·
Pembatalan
dari salah seorang yang bersekutu
·
Meninggalnya
salah seorang syarik
·
Salah
seorang syarik murtad atau membelot ketika perang
·
Gila
2.
Pembatalan
Secara Khusus
·
Harta
syirkah rusak
Apabila harta syirkah rusak
keseluruhan atau harta salah seorang rusak sebelum dibelanjakanm stirkah batal.
·
Tidak
ada kesamaan Modal
Apabila tidak ada kesamaan modal
dalam syirkah muwafidhah pada awal transaksi, perkongsian batal, sebab hal itu
merupakan syarat transaksi muwafidhah.[13]
B.
MUDHARABAH ATAU QIRADH
1.
Pengertian
Mudharabah
berasal dari kata al-dharb yang berarti secara harfiah berpergian atau
berjalan. Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu,
berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Jadi menurut bahasa, mudharabah
atau qiradh berarti al-qayh’u (potongan), berjalan, dan atau berpergian.
Menurut istilah dikemukakan oleh
para ulama sebagai berikut:
1.
Menurut
Hanafiyah
Akad syirkah dalam laba, satu pihak
pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.
2.
Malikiyah
Akad perwakilan, dimana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (mas dan perak)
3.
Imam
Hanabilah
Ibarat pemilik harta menyerahkan
hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagiandari
keuntungan yang diketahui.
4.
Ulama
Syafi’iyah
Akad yang menentukan seseorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
Setelah
diketahu beberapa pengertian, kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau
qiradh ialah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal tersebut, dengan
syarat bahwa keuntungan diperoleh dua pihak sesuai jumlah kesepakatan.[14]
2. Dasar
Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar
hukumnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib r.a,
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang
ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga,
bukan untuk dijual”.
Qiradh atau mudharabah menurut
Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan
sebelum diangkat menjadi Rasul Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad
mengadakan perjalan ke syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a.,
yang kemudian menjadi istri beliau.
3.
Rukun dan Syarat Mudharabah
Menurut
ulama Syafi’iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
a)
Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya
b)
Orang
yang bekerja atau mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
c)
Akad
mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
d)
Harta
pokok/modal
e)
Pekerjaan
pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba
f)
Keuntungan
Menurut
Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang
yang memiliki keahlian.
Syarat
sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri.
Syarat-syarat mudharabah adalah sebagai berikut:
a)
Modal
yang diserahkan tunai, apabila barang itu berbentuk mas, perak batangan, mas
hiasan atau barang dagangan lainnya mudharabah tersebut batal.
b)
Bagi
orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf.
c)
Modal
harus diketahui dengan jelas.
d)
Keuntungan
harus jelas.
e)
Melafazkan
ijab dari pemilik modal.
f)
Mudharabah
bersifat mutlak. Pemilik modal tidak mengikat. [15]
4.
Kedudukan Mudharabah
Hukum mudharabah berbeda-beda
karena adanya perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal
dalam mudharabah juga tergantung pada keadaan. [16]
5.
Biaya pengelolaan Mudharabah
Biaya
bagi mudharib di ambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di daerahnya,
demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah.
Namun jika pemilik modal
mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan
dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi
kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah.
Kiranya dapat dipahami bahwa biaya
pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal, namun
tidak masalah biaya dapat diambil dari keuntungan apabila pemilik modal
mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan.[17]
6.
Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal
Jika pemilik modal meninggal dunia,
mudharabah menjadi fasakh. Jika mudharabah telah fasakh, sedangkan modal
berbentuk ‘urud (barang dagangan), pemili modal dan pengelola modal menjualnya
atau membaginya karena yang demikian itu adalah hak berdua. [18]
7.
Pembatalan Mudharabah
Mudharabah menjadi batal apabila
perkara-perkara sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya.
3. Apabila pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[19]
C.
MUSAQAH
1.
Pengertian
Musaqh diambil dari kata al-saqa, yaitu
seseorang bekerja pada pohon anggur, (mengurusinya), atau pohon-pohon yang
lainya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendatngkan bagian tertentu dari
hasil yang diurus sebagai imbalan.
Menurut istilah, al-musaqah didefinisikan
oleh para ulama sebagai berikut:
1. Abdurrahman al-Jaziri
Akad untuk pemeliharaan pohon
kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
2. Malikiyah
Sesuatu yang tumbuh ditanah.
3. Syafi’iyah
Memberikan pekerjaan orang yang
memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya
dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan bekerja memperoleh bagian
tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.
4. Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah
Memperkerjakan manusia untuk
mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan
Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.
Setelah diketahui definisi-definisi
yang dikemukakan oleh para ulama diatas, kiranya dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan Musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara
pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. [20]
2.
Dasar Hukum Musaqah
Asas hukum musaqah ialah sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan,
baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa
Rasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi”. [21]
3.
Rukun dan Syarat Musaqah
Ruku
n musaqah menurut ulama Syafi’iyah ada lima berikut ini.
1. Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan
dengan samaran (kinayah) disyaratkan sighat dengan lafaz dan tidak cukup dengan
perbuatan saja.
2. Dua orang atau pihak yang berakad.
3. Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh
diparoh, baik yang berbuah tahunan maupun yang berbuah sekali setelah itu mati,
seperti padi, jagung, dll.
4. Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan.
Dan pekerjaan yang dilakukan tukang kebun, seperti menyiram, memotongi
cabang-cabang pohon.
5. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing.[22]
4.
Musaqah yang dibolehlkan
Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam musaqah. Imam Abu
Dawud berpendapat bahwa yang boleh dimusaqahkan hanya kurma. Menurut
Syafi’iyah, yang boleh hanyalah kurma dan anggur saja sedangkan menurut
Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar kedasar bumi dapat dimusaqahkan,
seperti tebu.
Menurut Imam Malik musaqah diperbolehkan
untuk semua pohon yang memiliki akar yang kuat, seperti delima, tin, zaitun dan
pohon-pohon yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang
berakar tidak kuat, seprti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki
kemampuan untuk menggarapnya.
Menurut mazhab Hanbali, musaqah
dibolehkan untuk semua pohon yang buahnya dapat dimakan. Dalam kitab al-mughni,
Imam Malik berkata, musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan
diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. [23]
5.
Tugas Penggarap
Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam
Nawawi adalah mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka
pemeliharaannya untuk mendapatkan buah, ditambahkan pula untuk setiap pohon
yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus
pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah dan
perintisan batangnya. [24]
6.
Penggarap Tidak Mampu Bekerja
Apabila penggarap tidak mampu bekerja
karena sakit atau berpergian mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal).
Tergantung pada akad, bila tidak dapat digantikan maka batal, jika dapat
diwakilkan maka tidak batal, tetapi penggarap diwajibkan mendapatkan
penggantinya selama ia berhalangan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Mazhab
Hanafi. D
Dalam penggarap tidak mampu menggarap
tugasnya mengurus pohom-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut
Imam Malik, penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk mengganti tugasnya.
Orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah karena
orang kedua dibayar oleh musaqi dengan perjanjian.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
musaqah batal apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus
pohon-pohon yang ada dikebun atau disawah yang di-musaqah-kan sebab penggarap
telah kehilangan kemampuan untuk menggarapnya.[25]
7.
Wafat Salah Seorang ‘Aqid
Menurut Mazhab Hanafi, apabila seorang
yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon-pohon tersebut sudah tampak
buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah
tersebut, demi menjaga kemaslahatan, penggarap melangsungkan pekerjaan atau
dilangsungkan oleh salah seorang atau beberspa ahli warisnya, sehingga buah itu
masak dan siap untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakuikan secara paksa
terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam hal seperti ini tidak
ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah, penggarap tidak
berhak mendapat upah.
Apabila penggarap atau ahli waris
berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau fasakh-nya akad, mereka
tidak boleh dipaksa. Tetapi jika mereka memetik buah yang belum layak dipanen,
hal itu mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya sehingga dalam
keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Memetik
buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati.
2.
Memberikan
kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang karena dialah yang berhak
memotong atau memetik.
3.
Pembiayaan
pohon sampai buahnya matang, kemudian hal ini dipotong dari bagian penggarap,
baik potongan itu dari buahnya atau nilai barangnya (uang). [26]
D.
MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1.
Pengertian
Menurut bahasa, al-muzara’ah
memiliki dua arti, yang pertama al-muaraah yang berarti tharh
al-ur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya ialah modal (al-hadzar).
Menurut istilah, muzara’ah dan mukhabarah didefinisikan oleh para ulama,
seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut:
1.
Hanafiyah
Muzara’ah ialah akad untuk
bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.
Sedangkan mukhabarah menurut
Syafi’iyah ialah: akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar
dari bumi.
2.
Haabilah
Muzara’ah ialah pemilik
tanah hyang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanamai dan yang bekerja
diberi bibit.
3.
Malikiyah
Muzara’ah ialah bersekutu
dalam akad.
4.
Al-Syafi’i
Mukhabarah ialah menggarap
tanah dengan apa yang dilakukan dari tanah tersebut.
Muzara’ah ialah seorang
pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.
Setelah diketahui definisi-definisi di
atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan
dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah
terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya
kepada orang lain untuk dikelola.
Perbedaannya adalah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah,
dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah. [27]
2.
Dasar Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama
dalam menetapkan dasar hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a. “sesungguhnya Nabi
SAW menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya,
supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa
yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada
saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Thawus r.a.
“sesungguhnya
Thawus r.a bermukhabarah, Umar r.a bekata; dan akau berkata kepadanya; ya
Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan
bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata; telah menceritakan padaku
orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal ituu, yaitu Ibn Abbas, bahwa Nabi SAW
tidak melarang mukhabarah, hanya beliau berkata, bila seseorang memberi manfaat
kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari
saudaranya dengan yang telah dimaklumi”.
Demikianlah
beberapa dasar hukumnya Mukhabarah dan Muzara’ah. [28]
3.
Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya
Menurut Hanafiyah, rukun muzara’ah ialah
akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah
rukun-rukun jumlah rukun muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat yaitu 1) tanah,
2) perbuatan pekerja, 3) alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
1.
Syarat
yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.
Syarat
yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa
saja yang akan ditanam.
3.
Hal
yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu; a) bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya presentasenya ketika akad. b) hasil
adalah milik bersama, c) bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis
barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil
bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah, d) bagian kedua belah pihak sudah
dapat diketahui, e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang
ma’lum.
4.
Hal
yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu a) tanah tesebut dapat
ditanami, b) tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5.
Hal
yang berhubungan denan waktu, yaitu a) waktunya telah ditentukan, b) waktu itu
memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud, c) waktu tersebut
memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6.
Hal
yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa
hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Menurut
Hanabilah, rukun muzara’ah ada satu, yaitu ijabdan kabul, boleh dilakukan
dengan lafadz apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan kabul dan bahkan
muzara’ah sah dilafadzkan dengan lafadz
ijarah.[29]
4.Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak
yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi, kuda, dan yang lainnya.
Dia sanggup untuk berladang dan bertani mencukupi keperluan hidupnya, tetapi
tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak di antara manusia mempunyai sawah,
tanah, ladang dan lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi tidak memiliki
ternak untuk mengolah sawah dan ladang nya tersebut atau ia sendiri tidak
sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak
menghasilkan suatu apa pun.
Muzara’ah dan
mukhabarah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang
kurang bisa dimanfaatkan karena tidak adanya tanah untuk diolah dan menghindari
tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan karena tidak ada yang
mengolahnya.
Muzara’ah dan
mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis
disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan
potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling
menguntungkan.[30]
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan
bahwa dalam makalah yang kami susun, yaitu mengenai tentang pengertian syirkah,
mudharabah atau qiradh, musaqah, muzara’ah dan mukhabarah. Dengan pengertiannya
yang berbeda-beda.
1.
Syirkah
Yang dimaksud
dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha,
yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama.
2.
Mudharabah
atau qiradh
Mudharabah atau
qiradh ialah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal tersebut, dengan
syarat bahwa keuntungan diperoleh dua pihak sesuai jumlah kesepakatan.
3.
Musaqah
Musaqah ialah akad
antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah
dari pohon yang diurusnya.
4.
Muzara’ah
dan Mukhabarah
mukhabarah
dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah
antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama,
yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya adalah pada
modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila
modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010.
Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia,
2001.
[1] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 125
[2] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 185
[3] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm.127
[4] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 187
[5] Ibid., hlm. 193
[6] Ibid., hlm. 196
[7] Ibid., hlm. 197
[8] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung:
Pustaka Setia, 2001, hlm. 197
[9] Ibid., hlm. 198
[10] Ibid., hlm. 199
[11] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 200
[12] Ibid., 201
[13] Syafe’i, H. Rachmat, Fiqh Muamalah,
Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 201
[14] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 135
[15] Suhendi
H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 139
[16] Ibid.,
[17] Ibid.,
hlm. 141
[18] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm.142
[19] Ibid., hlm. 143
[20] Suhendi
H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 145
[21] Ibid., hlm. 148
[22] Ibid.,
[23] Suhendi
H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 149
[24] Ibid., hlm. 150
[25] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 150
[26] Ibid., hlm. 151
[27] Suhendi H, Hendi, Fiqh Muamalah,
Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 153
[28] Suhendi
H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 156
[29] Suhendi
H, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 158
[30] Ibid., hlm. 159